Jurnalistik mengenal 5W+1H. Setiap mereka yang mendapat materi Bahasa Indonesia, tentu sudah mengenal istilah ini. Aku belajar 5W+1H sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, bertahun-tahun yang lalu. Lima ditambah satu, hasilnya enam. Secara sederhana aku awalnya berpikir bahwa hanya akan ada enam pertanyaan yang akan digunakan; Who, What, Where, When, Why dan How. Bukankah itu sangat mudah? Saat melakukan praktik wawancara, yang perlu kulakukan hanya menerjemahkan kata-kata itu ke dalam Bahasa Indonesia, kemudian membuat meletakkan mereka di awal pertanyaanku. Jika aku buat listnya, maka akan menjadi seperti ini:
Siapa............?
Apa..............?
Dimana........?
Kapan..........?
Mengapa......?
Bagaimana....?
Berbekal enam pertanyaan yang sudah tersusun sedemikian rupa dan sedemikian hingga, berita yang aku buat akan memenuhi kriteria sebagai berita yang baik. That's what I thought... But, I was wrong!
Saat berhadapan dengan narasumber keenam pertanyaan itu tidak akan cukup!Ada banyak informasi yang masih bisa digali. Siapa bisa menjadi 5 pertayaan, demikian pula dengan kalimat tanya yang lain.
That is the reality! Aku sadar bahwa ada banyak pertanyaan yang bisa bermunculan selama kita masih hidup di tengah dunia ini, selama kita masih disebut manusia. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saat ini, aku ingin berkisah tentang "mengapa" dan "mengapa tidak".
Mungkin saat membacanya, ada diantara pembaca yang bertanya: Mengapa harus "mengapa" dan "mengapa tidak"? Mengapa tidak "apa" dan "bagaimana". Jika memang pertanyaan itu yang muncul, maka itulah jawabannya. Bisa mengerti apa yang kumaksud?
Entah karena mind-setting manusia telah diatur seperti itu, atau karena ada faktor-faktor lain (mungkin ada yang bisa memberikan tanggapannya tentang hal ini?) saat ada sesuatu yang kita anggap tidak sesuai dengan keinginan, 2 pertanyaan itu otomatis akan muncul.
"Mengapa" menggambarkan bahwa sebenarnya kita adalah pribadi yang kristis, juga pribadi yang selalu ingin tahu, terutama hal-hal baru, dan apa yang belum kita mengerti. Tidak saja dengan mudahnya setuju terhadap sesuatu. It's good, isn't it? Ini adalah salah satu tameng yang bisa membuat kita bertahan pada apa yang kita yakini, dan tidak jatuh pada apa yang kita anggap tidak sesuai. Kurangnya adalah pertanyaan terkesan sebagai penanda bahwa sebenarnya kita sedang "menentang". Iya 'kan?
Sedangkan, "mengapa tidak" sejauh ini, "mengapa tidak" (sejauh yang aku mengerti, jika ada yang ingin menambahkan, silakan...) memiliki dua arti yang sangat signifikan. Pertama, ini mengindikasikan kreativitas yang kita miliki karena "mengapa tidak" biasanya dibarengin dengan statement, usulan, pendapat atau kata-kata yang ada dalam satu kingdom dengannya (jadi masuk istilah di IPA, see: klasifikasi makhluk hidup -____-"). Di satu sisi, ini membuat kita terkesan seperti "yang paling sok tau". Bener gak?
Sebenarnya apa yang aku tulis diatas hanya pemahbah basa-basi. Bukan itu yang ingin aku sampaikan. Mengapa harus menggunakan introduction yang begitu panjang? Mengapa tidak langsung pada pointnya? Aku juga tidak tahu mengapa. Aku hanya ingin menulis, dan apa yang muncul, aku tulis semua. Maaf bagi pembaca yang merasa keberatan dengan semua ini. Tapi serius, ada hal penting yang ingin aku sampaikan terkait penggunaan dua kalimat itu dalam konteks kehidupan.
Pernahkan lelah menjalani setiap rutinitas dalam kehidupan? Pernahkan merasa BOSAN, JENUH, TERTEKAN dengan situasi yang kita hadapi? Pernahkah merasa bahwa apa yang kita alami tidak adil bagi kita? Adakah kita pernah menanyakan ini:
- Mengapa saya lahir di keluarga ini? Mengapa tidak di keluarga A, B, C, D, E atau di keluarganya?
- Mengapa saya harus mengalami ini? Mengapa tidak membiarkan saya bersenang-senang?
- Mengapa saya harus bersamamu? Mengapa tidak bersama dengan orang lain?
- Mengapa saya harus hidup sebagai saya? Mengapa saya tidak hidup sebagai kamu?
- Mengapa .........................................? Mengapa tidak........................................? (isi saja dengan beribu kemungkinan pertanyaan yang muncul).
Bisa menangkap apa yang ingin kusampaikan? Kita terlalu sering mengeluh, kemudian menuntut Tuhan untuk memberikan apa yang kita anggap baik, menurut pandangan kita, bukan menurut apa yang Tuhan pandang baik. Siapa yang menciptakan manusia? Jadi siapa yang sebenarnya lebih mengerti apa yang kita perlukan, apa yang baik dan tidak baik untuk kita? Adakah kedua pertanyaan itu mewakili rasa syukur atau sebaliknya? Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu disini, ini tergantung pada diri kita masing-masing.
Sampai disini saja. Hope u can get the point of those paragraphs! Hopefully! May God be with us! (DRA, penghujung 2012)
Saturday, December 22, 2012
Friday, December 14, 2012
Tak Seharusnya Melupakan
Sudah lama aku tidak pulang. Dan entah mengapa, malam ini aku rindu untuk mengunjungi "rumah". Rumah ini bukan rumah biasa, bukan juga sebuah rumah yang luar biasa. Yang membuat rumah ini sedikit terlihat istimewa adalah kunci untuk membuka pintunya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang dapat membuka rumah ini, kecuali aku dan sahabat terbaikku. Masih ingat cerita tentang sahabatku? Sebelumnya, aku sempat menceritakan kisahnya bersama "L", laki-laki yang sangat dikaguminya disini.
Baik, lupakan tentang kisah masa lalunya. Kali ini, ada hal lain yang akan aku ceritakan, masih tentangnya. Aku bertemu dengannya malam ini di ruang tamu setelah hampir sebulan belakangan ini kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sibuk dengan tugas-tugas akhir semester di kampusku, dan dia sibuk dengan tulisan-tulisannya. Jelas aku terkejut begitu melihatnya tengah duduk sambil memainkan handphonenya. Biasanya jika ingin berkunjung, kami pasti membuat janji terlebih dahulu untuk pergi bersama-sama. Tapi, malam ini tidak demikian.
"Kenapa gak bilang mau kesini?" tanyaku protes. Dia, sahabatku itu, berhenti memainkan handphonenya sembari tersenyum. Berbeda denganku, dia sama sekali tidak terkejut.
"Emang kamu bilang?" Dia balik mengajukan pertanyaan. Sejenak, aku berusaha mencerna makna di balik kalimatnya itu. Dua sesi mata kuliah pragmatics tadi pagi berhasil membuatku mengambil kesimpulan bahwa ada hal lain yang ingin dia sampaikan.Conversational Implicature, Politeness, Leech's Maxims, Brown and Lavinson muncul dalam pikiranku. Ah, padahal malam ini aku mampir ke rumah untuk terlepas dari kejenuhan akan tugas-tugas kuliah itu. Sahabatku justru mengundang mereka datang lagi.
"Kapan ya terakhir kita ngumpul bareng?" tanyanya lagi. Aku kembali diam, tapi otakku tetap menyelidiki makna kalimat yang dia ucapkan. Aku duduk di sofa, tepat di hadapannya. Dia masih tetap tidak mengubah eskpresi wajahnya, tetap ada senyum disana, dia bahagia.
"Lupa ya ngabarin aku?"
Eh, lupa? Aku kembali mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di rumah ini. Aku berusaha mengingat "lupa" yang tadi disebutkan oleh sahabatku. Saat aku tengah berusaha keras, tiba-tiba aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang dia ajukan. Sindiran.
"Maaf," kataku mengakui kesalahan. Dia tetap tersenyum. Sahabatku ini, dia sama sekali tidak marah. Padahal jelas-jelas aku melupakannya. Bahkan, aku sepertinya dia sudah kuanggap hilang dalam kehidupanku sejak final project pertama yang harus kubuat sebulan yang lalu.
"It's ok! Aku juga minta maaf. Gak ngabarin kamu karena takut ganggu."
Kini aku bisa tersenyum. Aku kembali belajar sesuatu dari dia, sahabatku (sepertinya aku memang lebih sering belajar darinya). Seperti apa pun kesibukan yang kumiliki, tidak seharusnya aku melupakannya. Bagaimana pun kami adalah sahabat baik, tidak ada alasan untuk tidak saling menyapa ataupun memberi kabar. Untunglah dia tidak salah paham. Kami akhirnya menghabiskan waktu hingga 30 menit untuk menceritakan apa-apa saja yang telah terjadi selama kami tidak pernah bertemu. Meskipun banyak cerita yang masih harus di-pending, setidaknya itu cukup memberikanku pelajaran baru untuk melanjukan hariku esok.
*Dear sahabatku, sampai kapan kamu tidak ingin namamu disebut dalam catatan-catatan kecilku? Malu memiliki seorang sahabat yang tak pandai merangkai kata sepertimu? Tapi tak apalah, selama aku masih diizinkan untuk menulis pengalaman kita dan berbagi sesuatu kepada mereka, aku tidak akan pernah mendesakmu. Thanks for today ^^
Baik, lupakan tentang kisah masa lalunya. Kali ini, ada hal lain yang akan aku ceritakan, masih tentangnya. Aku bertemu dengannya malam ini di ruang tamu setelah hampir sebulan belakangan ini kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sibuk dengan tugas-tugas akhir semester di kampusku, dan dia sibuk dengan tulisan-tulisannya. Jelas aku terkejut begitu melihatnya tengah duduk sambil memainkan handphonenya. Biasanya jika ingin berkunjung, kami pasti membuat janji terlebih dahulu untuk pergi bersama-sama. Tapi, malam ini tidak demikian.
"Kenapa gak bilang mau kesini?" tanyaku protes. Dia, sahabatku itu, berhenti memainkan handphonenya sembari tersenyum. Berbeda denganku, dia sama sekali tidak terkejut.
"Emang kamu bilang?" Dia balik mengajukan pertanyaan. Sejenak, aku berusaha mencerna makna di balik kalimatnya itu. Dua sesi mata kuliah pragmatics tadi pagi berhasil membuatku mengambil kesimpulan bahwa ada hal lain yang ingin dia sampaikan.Conversational Implicature, Politeness, Leech's Maxims, Brown and Lavinson muncul dalam pikiranku. Ah, padahal malam ini aku mampir ke rumah untuk terlepas dari kejenuhan akan tugas-tugas kuliah itu. Sahabatku justru mengundang mereka datang lagi.
"Kapan ya terakhir kita ngumpul bareng?" tanyanya lagi. Aku kembali diam, tapi otakku tetap menyelidiki makna kalimat yang dia ucapkan. Aku duduk di sofa, tepat di hadapannya. Dia masih tetap tidak mengubah eskpresi wajahnya, tetap ada senyum disana, dia bahagia.
"Lupa ya ngabarin aku?"
Eh, lupa? Aku kembali mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di rumah ini. Aku berusaha mengingat "lupa" yang tadi disebutkan oleh sahabatku. Saat aku tengah berusaha keras, tiba-tiba aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang dia ajukan. Sindiran.
"Maaf," kataku mengakui kesalahan. Dia tetap tersenyum. Sahabatku ini, dia sama sekali tidak marah. Padahal jelas-jelas aku melupakannya. Bahkan, aku sepertinya dia sudah kuanggap hilang dalam kehidupanku sejak final project pertama yang harus kubuat sebulan yang lalu.
"It's ok! Aku juga minta maaf. Gak ngabarin kamu karena takut ganggu."
Kini aku bisa tersenyum. Aku kembali belajar sesuatu dari dia, sahabatku (sepertinya aku memang lebih sering belajar darinya). Seperti apa pun kesibukan yang kumiliki, tidak seharusnya aku melupakannya. Bagaimana pun kami adalah sahabat baik, tidak ada alasan untuk tidak saling menyapa ataupun memberi kabar. Untunglah dia tidak salah paham. Kami akhirnya menghabiskan waktu hingga 30 menit untuk menceritakan apa-apa saja yang telah terjadi selama kami tidak pernah bertemu. Meskipun banyak cerita yang masih harus di-pending, setidaknya itu cukup memberikanku pelajaran baru untuk melanjukan hariku esok.
*Dear sahabatku, sampai kapan kamu tidak ingin namamu disebut dalam catatan-catatan kecilku? Malu memiliki seorang sahabat yang tak pandai merangkai kata sepertimu? Tapi tak apalah, selama aku masih diizinkan untuk menulis pengalaman kita dan berbagi sesuatu kepada mereka, aku tidak akan pernah mendesakmu. Thanks for today ^^
Subscribe to:
Posts (Atom)