Friday, May 10, 2013

Diam, dan Tenanglah!

Hi... sudah lama aku tidak curhat. Selama ini, aku selalu punya banyak sahabat yang membuatku selalu mengulur-ngulur waktu untuk menulis di sini, bahkan mengunjungi sahabat spesialku di sebuah tempat yang hanya aku dan dia kunjungi.

Entah kenapa, senja ini aku begitu merindukannya. Aku putuskan untuk meninggalkan tempat dimana aku berada sekarang, pergi ke tempat rahasia kami. Seperti yang telah kuduga dia sudah di sana dengan novel tebal dalam genggamannya. Minuman botol bersoda yang kosong di sebelahnya dengan jelas mengatakan padaku, bahwa dia berada di sini sejak beberapa waktu yang lalu. Dia pasti begitu rajin mengunjungi tempat ini seorang diri, meskipun tanpa aku.

"Novel baru?"


"Seperti yang kamu lihat," jawabnya sekenanya. 

Dia pasti kesal padaku. Terakhir kali, aku mengunjunginya pada akhir Desember tahun lalu. Dan hingga sekarang, itu berarti sudah hampir lima bulan.

"Kerjaan di kampus bikin aku nggak napas." Aku berusaha membuatnya mengerti. Setidaknya, dia tidak boleh cuek padaku kali ini. Aku benar-benar ingin dia mendengarkan apa yang ingin kusampaikan. Tapi rupanya dia benar-benar marah. Dia hanya ber-oh menanggapi pernyataanku dan tetap melekatkan pandangan pada novel itu.


"Baik, aku salah. Aku minta maaf."


"Untuk yang keberapa kali?"


"Yang kesekian kali. Aku minta maaf untuk yang kesekian kali."


"Berarti masih ada kemungkinan kalau kamu akan melakukan hal yang sama, besok, minggu depan, atau bulan depan?"


"Tidak lagi!" Aku bisa menangkap kecewa yang membuncah dari gaya bicaranya. Aku sadar bahwa beberapa waktu ini, aku terlalu sibuk dengan keseharianku. Bukan! Aku terlalu menyibukkan diri karena seseorang. Sahabatku itu, dia akhirnya menutup novelnya. Dia balik menyelidik ke arahku.


"Disalahin lagi?"


Aku hanya mengangguk lemah. Selalu, tidak ada yang bisa kututupi saat berhadapan dengannya. Dia terlalu kuat untuk memaksaku berlaku jujur. Dengan orang lain, aku bisa dengan mudah menyembunyikan semua. Tapi dengan dia, aku tidak bisa. Dia tampak menghela napas panjang, menatap botol sodanya yang kosong.


"Seharusnya kamu bawa soda."


"Mungkin seharusnya aku mengirimkanmu pesan terlebih dulu, dan menanyakan apa yang kau perlukan sebelum aku berangkat tadi."


"Itu kamu tahu." 


Aku diam beberapa saat, memberikan waktu padanya untuk melanjutkan perkataannya. Aku tahu, bukan itu yang sebenarnya ingin dia katakan. Dia pasti sedang mengalihkan pembicaraan sejenak dan mencari cara agar aku tidak tersinggung dengan komentarnya. Dia terlalu mengenalku, dia tahu bahwa aku akan lekas tersinggung saat mendengar apa yang menurutku tidak sesuai dengan diriku.

"Kita tidak bisa memaksa orang untuk selalu sepaham dengan apa yang kita pikirkan."


"Aku tahu. Aku hanya berpikir mungkin saja orang-orang terdekatku bisa mengerti bagaimana aku."


Sahabatku kembali menghela napas panjang. "Tidak semua. Manusia terlalu cepat jenuh. Cepat bosan."


"Lalu kenapa kamu tidak pernah bosan?"


"Mungkin karena aku bukan manusia."


"Tidak! Kamu jelas-jelas manusia, sama sepertiku." 


Entah mengapa, emosiku memuncak ketika ia berkata demikian. Dia memilih untuk menghabiskan waktu di tempat ini mungkin karena orang-orang di sekitarnya menganggap bahwa dia tidak seperti manusia kebanyakan.

"Dengar! Terkadang aku juga merasa sepertimu, saat apa yang kusampaikan tidak dipercayai orang, atau bahkan saat mereka tidak menganggapku ada. Kamu tahu apa yang aku lakukan?"


Hening.


"Bisa kamu menebaknya?"


Hening.


"Aku diam."


Aku hampir saja memberikan jawaban itu, tapi meskipun sudah diujung lidah, entah mengapa aku merasa nyaman berada dalam keheningan yang kuciptakan.


"Merasa lebih nyaman?"


"Iya."


"Kadang kita lebih baik diam. Tidak mengatakan apa pun. Tidak berbagi apa pun, termasuk pada mereka yang selalu peduli. Sering-seringlah mampir ke sini. Karena aku tidak pernah bosan mendengarmu, jadikan ini tempat yang paling nyaman buatmu."


Meskipun sedikit terlambat, mulai saat ini, aku akan menuruti nasihatnya. Bagaimana jika mencoba untuk diam?


*Dear sahabatku, kunci itu hanya 2. Satu aku yang memegang, dan satu lagi ada di kamu. Maafkan aku jika aku terlalu egois, meninggalkanmu sendiri, membirkanmu sendiri mennghabiskan waktu di rumah itu.