Monday, March 26, 2012

Renungan-Motivasi Pelayanan

Sahabatku, L dan Pelayanannya

Aku memiliki seorang sahabat dekat. Kemanapun dan dimanapun kami selalu bersama. Aku dan dia sebaya. Meskipun demikian, kadang aku manggil dia “mbak’” karena kedewasaannya yang melebihi remaja seusia kami. Di lain waktu, aku manggil dia “dik” karena sifatnya yang seringkali terlihat seperti anak-anak. Dia terlihat seperti memiliki dua sisi yang berbeda. Ada juga yang bilang dia “bunglon”, dapat berubah sewaktu-waktu.
 Suatu ketika, dia bercerita padaku tentang seseorang yang dia suka. What a surprise! Akhirnya dia mau membahas hal ini juga, biasanya dia cuek bebek kalau soal ini. Sebagai sahabat, sahabat yang selalu ada untuknya, sudah pasti aku harus mendengarkan curhatnya kali ini. Terungkaplah bahwa dia telah menyukai seseorang sejak lama. Sejak hampir 6 tahun yang lalu. Ini sebenarnya yang membuatnya tidak pernah membicarakan soal pacar, pasangan hidup or whatever yang berhubungan dekat dengan kata-kata kunci tersebut diatas.

Aku sempat mengerutkan dahi ketika mendengar awal mula perasaannya muncul. Bisakah menyukai seseorang hanya dalam waktu yang singkat? Dia dan laki-laki yang disukainya (selanjutnya dalam tulisan ini, laki-laki itu akan disebut “L”) tidak berada dalam satu wilayah yang sama, tidak pernah berada dalam satu sekolah yang sama, apalagi pergi bersama. Tidak pernah! Pokoknya mereka tidak sering ketemu. Hanya sesekali di tempat-tempat umum atau sekedar papasan di jalan. Dalam setahun, mungkin dia hanya bisa melihat laki-laki itu sekali atau dua kali, bahkan mungkin tidak melihatnya sama sekali. Lalu kenapa bisa muncul perasaan itu? Aku tidak mengerti mengapa dia bisa mencintai dengan begitu tulus dan sungguh-sungguh dalam kondisi yang demikian.
Kemudian aku, sebagai sahabat terdekatnya, berusaha memberikan sedikit masukan untuknya. Aku yakin, siapa pun yang mengetahui kisahnya akan memberikan nasehat yang sama untuknya. Aku bilang ke dia, untuk memilih; ingin tetap mencintainya dan mengungkapkan perasaannya ke L, atau melupakan cintanya itu kemudian membuka hatinya untuk laki-laki lain. Tapi ternyata, dia tidak memilih kedua-duanya.
Dia bukan tipe wanita yang mudah mengungkapkan perasaannya. Dia juga bukan tipe wanita yang mudah untuk melupakan perasaannya. Karena itu dia tidak bisa memilih keduanya. Aku berusaha mengerti kondisinya, meskipun aku sedikit kesal, karena dengan ini dia terkesan sedang menyakiti dirinya sendiri. Menyimpan perasaan yang demikian selama bertahun-tahun bukankah akan terasa sangat sakit? Aku merasakannya, saat dia merasa sakit, aku pun merasakan sakit hati. Itulah mengapa aku dan dia disebut “sahabat”.

Dia juga bilang padaku bahwa dia ingin L dapat mengetahui perasaannya. Dia juga berharap bisa bersama dengan L. Sering juga dia membayangkan masa-masa indah yang dapat mereka lalui jika bersama. Suatu kali, terlintas dalam benaknya untuk memanfaatkan apa yang dia punya untuk menarik perhatian L. Sahabatku ini cukup aktif dalam pelayanan di Gereja. Itu sebabnya dia ingin menarik perhatiaan L dengan meng’expose dirinya. Mulai muncul keinginan agar orang-orang mengaguminya, hingga ia dibicarakan orang-orang, namanya dikenal luas dan L mungkin saja bisa mendengar tentang hal itu. Dia ingin “terkenal”.

Hampir saja dia menjalankan rencananya ini, dia tertegur oleh Firman Tuhan yang didengarnya dalam satu ibadah. Selama ini, dia percaya bahwa Tuhan akan memberikannya yang terbaik. Namun, secara tidak langsung dia meragukan rencana Tuhan. Dia menjadi tidak sabar, susah mengendalikan keinginannya dan berpikir bahwa semua bisa dilakukannya seorang diri, tanpa campur tangan Tuhan. Dia lupa bahwa semua berasal dari Tuhan.
Dia akhirnya merenungkan kembali strategi yang nyaris dijalankannya. Benarkah jika demikian motivasi pelayanan yang dia miliki? Talenta yang ada padanya adalah anugerah dari Tuhan. Tidak layak dia memegahkan diri dan mencari kepuasan pribadinya semata. Sungguh dia merasa sangat bersyukur dengan teguran itu.
Kini, dia terus berusaha mengesampingkan motivasi-motivasi yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dia yakin, Tuhan sanggup melakukan segala sesuatunya. Jika Tuhan memang berkenan dia bersama L, Tuhan pasti senantiasa menolongnya, entah nanti L akan mengetahui perasaannya, atau dia dapat melupakan perasaannya pada L dan berada bersama orang yang Tuhan pilihkan. Dia percaya semua indah pada waktu-Nya.
Aku bersyukur bisa ikut terlibat dalam pergumulan sahabatku ini. Semoga kisah sahabatku ini bisa mengingatkan kita semua tentang motivasi yang ada dalam diri kita dalam pelayanan. Tuhan memberkati 

Nb: Dear sahabatku, terimakasih untuk membagikan ini padaku. Percayalah Tuhan mengasihi kita semua dan akan memberikan yang terbaik. Semua indah pada waktuNya.

Saturday, March 10, 2012

Anugerah dalam Amplop Coklat

Aku berjalan seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih percaya pada mimpiku. Aku menyapa dan tersenyum pada orang-orang di sekitarku seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih berpegang teguh pada mimpiku. Dan aku masih duduk di tempat ini seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih menyematkan mimpi itu dalam hatiku.
“Tidak ikut?,”tanya seorang sahabatku. Aku hanya tersenyum seraya memamerkan novel yang sedang aku baca.
“Tanggung,” jawabku berusaha menutupi keinginan pergi bersama dengannya. Kuharap dia tidak curiga dan mempercayai bahwa aku tidak ingin pergi denganya karena alasan ini; karena aku sedang sibuk mencermati tiap kata dalam novel yang sedang aku baca di perpustakaan sekolahku ini. Sahabatku itu hanya terdiam. Sejenak ia terus menatap padaku dan juga novel ini. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu, entah apa. Atau mungkin juga dia sedang menyelidiki kebenaran dari alasan yang telah aku lontarkan. Ya, tidak salah. Tidak salah jika dia berpikiran demikian karena tidak biasanya aku menolak ajakan untuk membicarakan mimpiku.
“Yakin?,” selidiknya. Aku kembali mengangguk kecil dan membuka lembar berikutnya dari novel ini. Dia pun akhirnya pergi, pergi meninggalkan aku yang telah meninnggalkan mimpiku juga. Aku kembali memainkan lembaran-lembaran dalam novel. Sesungguhnya sejak tadi aku hanya memanfaatkan novel ini sebagai alibi untuk menghindar dari hal-hal yang mengingatkanku pada mimpiku. Tidak ada satu halaman pun yang benar-benar sedang kubaca.
Tiba-tiba saja seorang laki-laki paruh baya berpakaian dinas menghampiku. Beliau memanggil namaku, nama yang berarti anugerah. Mungkin sejak lahir, mereka, orang tuaku, menganggap aku sebagai anugerah, atau mungkin pemberiaan nama itu mereka maksudkan agar aku bisa menjadi anugerah untuk orang lain disekitarku. Awalnya, saat aku masih percaya pada mimpi-mimpiku, aku masih meyakini itu benar. Namun sekarang, tidak demikian lagi adanya.
Aku tersenyum pada beliau, berperilaku seolah tidak pernah terjadi apa-apa dalam kehidupanku. Semua baik-baik saja. Ya, semua baik-baik saja. Itu yang ingin aku sampaikan pada semua orang disekitarku. Beliau menyodorkan sebuah amplop coklat yang perekatnya sudah dilepas. Aku menerimanya, mengamati bagian luar amplop itu. Tidak ada namaku. Bukankah ini surat dinas yang ditujukan untuk sekolahku dan bukan untukku? Mengapa menunjukkan ini padaku? Sebuah amplop. Hanya sebuah amplop berwarna coklat, tanpa namaku, nama yang mereka artikan sebagai anugerah.

***
Aku membanting diaryku di hadapan mereka. Di hadapan mereka yang memberikanku nama yang berarti anugerah.
“Jadi seperti ini arti nama yang Ayah dan Ibu artikan sebagai anugerah?” tanyaku pada mereka dengan nada setengah berteriak dan linangan air mata.
“Jadi ini? Ini hasilnya?” Aku kembali melontarkan pertanyaan. Mereka hanya diam menatapku. Di wajah mereka terlukis kepedihan yang mendalam. Entah karena mereka merasa bersalah atas apa yang mereka telah lakukan padaku, atau karena mereka kecewa akan sikapku, aku tidak tahu. Yang jelas saat ini tidak ada yang bisa merasakan betapa sakitnya aku.
Aku lemas, bahkan aku tidak sanggup untuk berdiri lagi. Tangisku semakin menjadi-jadi setiap kali aku mengingat akan mimpiku. Dulu mereka, mereka yang memberiku nama dengan arti anugerah ini, membiarkanku terlarut dalam mimpi-mimpiku. Diary biru ini, dary yang mereka berikan padaku untuk mimpiku. Mereka memintaku menuliskan mimpiku disini. Di diary biru ini. Bermimpi seperti samudera atau langit biru yang luas yang tidak memiliki batas. Aku boleh memimpikan apa pun, tanpa harus dibatas-batasi. Itu yang selalu mereka katakan.
Kini, lihatlah aku hampir saja melangkahkan kaki untuk lebih dekat pada mimpiku. Setelah mereka mengzinkanku mengisi formulir pendaftaran mahasiswa baru, setelah aku melampaui tiap tahapan dan berhasil mengikuti semuanya dengan baik, mereka justru mengatakan aku tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu? Permainan apa sebenarnya yang mereka buat untuk mimpiku? Sungguh aku tidak me ngerti.
“Berdoa Nak, bawa semuanya dalam doa,” mereka kembali mengingatkanku. Aku tahu itu, mereka selalu berkata demikian. Aku sudah berdoa, berdoa dan berdoa. Aku meminta Tuhan untuk memberikanku jalan agar aku boleh semakin dekat dengan mimpiku. Tapi inikah yang harus aku terima sebagai jawaban dari doa-doaku? Mereka tidak memiliki cukup uang untuk mendanai kuliahku. Tidak ada, bahkan untuk membayar uang masuk pun tidak ada.
Aku kembali menangis dan hanya menangis. Seharusnya mereka tidak bermain-main dengan mimpiku. Seharusnya mereka tidak memberikanku diary biru itu. Kenapa tidak mereka sampaikan sejak awal jika memang akhirnya akan begini? Kenapa tidak membiarkanku menjalani kehidupanku tanpa impian? Aku lelah, lelah dan lelah dengan semua harapan palsu itu.
***
Aku menatap mereka, kedua orang tuaku, sungguh air mata ini tidak dapat aku bendung. Mengalir begitu saja. Aku ingin mengatakan sesuatu pada mereka, tapi aku tidak memiliki kekuatan untuk itu. Sesak rasanya. Lagipula aku tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini.
“Maaf...” itu adalah kata pertama yang berhasil aku lontarkan pada mereka yang tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya telah terjadi padaku.
“Maaf...” dan itu adalah kata selanjutnya yang bisa aku ucapkan pada mereka yang telah memberiku sebuah nama, nama yang memliki arti anugerah. Aku menyodorkan amplop coklat itu kepada mereka. Ayahku yang mengambilnya. Dia bergegas menuju kamarnya dan berusaha menemukan kacamata plusnya.
“Ada apa sebenarnya?,” ibuku tetap menatap ke arahku yang tidak dapat menghentikan tangis ini. Beberapa saat ayahku kembali. Dia membaca lembaran kertas di dalam amplop coklat yang dialamatkan bukan untukku itu. Amplop coklat yang diberikan guruku saat aku sedang membaca novel di perpustakaan tadi pagi. Aku menunduk, menunduk lemah, membiarkan air mata yang menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Ibuku mengalihkan pandangannya ke arah ayahku yang mungkin mulai mengerti dengan situasi ini. Ibu beranjak mendekati ayahku. Ia mencoba menghapus rasa keingintahuannya, berdiri di sebelah ayahku untuk turut menyelidiki isi kertas itu.
Ayah melepaskan kacamatanya. Aku memberanikan diri melihat ke arah seorang pria yang telah berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, yang setiap hari membiarkan kulitnya dibakar matahari, bekerja keras hanya untuk membuat keluarganya bahagia. Dan Ibu, air matanya menetes lagi. Air mata yang selalu menetes dengan tulus untuk anak-anaknya. Sungguh Tuhan, aku bersyukur Engkau menempatkanku di tengah-tengah keluarga ini.
Amplop coklat itu memang tidak ditujukan untukku, tapi isi dari amplop itu sungguh adalah anugerah yang Tuhan siapkan. Namaku ada di dalamnya, nama yang memiliki arti anugerah. Beasiswa penuh. Itu pesan yang tertulis didalamnya. Ampuni aku Tuhan untuk apa yang telah aku lakukan dan terimakasih untuk semua yang telah terjadi, yang telah mengajarkan kami bahwa Engkau membuat semua indah pada waktunya. Bahwa Engkau telah siapkan yang terbaik untuk kami.

-DRA-Singaraja- March 10, 2012