Saturday, March 10, 2012

Anugerah dalam Amplop Coklat

Aku berjalan seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih percaya pada mimpiku. Aku menyapa dan tersenyum pada orang-orang di sekitarku seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih berpegang teguh pada mimpiku. Dan aku masih duduk di tempat ini seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih menyematkan mimpi itu dalam hatiku.
“Tidak ikut?,”tanya seorang sahabatku. Aku hanya tersenyum seraya memamerkan novel yang sedang aku baca.
“Tanggung,” jawabku berusaha menutupi keinginan pergi bersama dengannya. Kuharap dia tidak curiga dan mempercayai bahwa aku tidak ingin pergi denganya karena alasan ini; karena aku sedang sibuk mencermati tiap kata dalam novel yang sedang aku baca di perpustakaan sekolahku ini. Sahabatku itu hanya terdiam. Sejenak ia terus menatap padaku dan juga novel ini. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu, entah apa. Atau mungkin juga dia sedang menyelidiki kebenaran dari alasan yang telah aku lontarkan. Ya, tidak salah. Tidak salah jika dia berpikiran demikian karena tidak biasanya aku menolak ajakan untuk membicarakan mimpiku.
“Yakin?,” selidiknya. Aku kembali mengangguk kecil dan membuka lembar berikutnya dari novel ini. Dia pun akhirnya pergi, pergi meninggalkan aku yang telah meninnggalkan mimpiku juga. Aku kembali memainkan lembaran-lembaran dalam novel. Sesungguhnya sejak tadi aku hanya memanfaatkan novel ini sebagai alibi untuk menghindar dari hal-hal yang mengingatkanku pada mimpiku. Tidak ada satu halaman pun yang benar-benar sedang kubaca.
Tiba-tiba saja seorang laki-laki paruh baya berpakaian dinas menghampiku. Beliau memanggil namaku, nama yang berarti anugerah. Mungkin sejak lahir, mereka, orang tuaku, menganggap aku sebagai anugerah, atau mungkin pemberiaan nama itu mereka maksudkan agar aku bisa menjadi anugerah untuk orang lain disekitarku. Awalnya, saat aku masih percaya pada mimpi-mimpiku, aku masih meyakini itu benar. Namun sekarang, tidak demikian lagi adanya.
Aku tersenyum pada beliau, berperilaku seolah tidak pernah terjadi apa-apa dalam kehidupanku. Semua baik-baik saja. Ya, semua baik-baik saja. Itu yang ingin aku sampaikan pada semua orang disekitarku. Beliau menyodorkan sebuah amplop coklat yang perekatnya sudah dilepas. Aku menerimanya, mengamati bagian luar amplop itu. Tidak ada namaku. Bukankah ini surat dinas yang ditujukan untuk sekolahku dan bukan untukku? Mengapa menunjukkan ini padaku? Sebuah amplop. Hanya sebuah amplop berwarna coklat, tanpa namaku, nama yang mereka artikan sebagai anugerah.

***
Aku membanting diaryku di hadapan mereka. Di hadapan mereka yang memberikanku nama yang berarti anugerah.
“Jadi seperti ini arti nama yang Ayah dan Ibu artikan sebagai anugerah?” tanyaku pada mereka dengan nada setengah berteriak dan linangan air mata.
“Jadi ini? Ini hasilnya?” Aku kembali melontarkan pertanyaan. Mereka hanya diam menatapku. Di wajah mereka terlukis kepedihan yang mendalam. Entah karena mereka merasa bersalah atas apa yang mereka telah lakukan padaku, atau karena mereka kecewa akan sikapku, aku tidak tahu. Yang jelas saat ini tidak ada yang bisa merasakan betapa sakitnya aku.
Aku lemas, bahkan aku tidak sanggup untuk berdiri lagi. Tangisku semakin menjadi-jadi setiap kali aku mengingat akan mimpiku. Dulu mereka, mereka yang memberiku nama dengan arti anugerah ini, membiarkanku terlarut dalam mimpi-mimpiku. Diary biru ini, dary yang mereka berikan padaku untuk mimpiku. Mereka memintaku menuliskan mimpiku disini. Di diary biru ini. Bermimpi seperti samudera atau langit biru yang luas yang tidak memiliki batas. Aku boleh memimpikan apa pun, tanpa harus dibatas-batasi. Itu yang selalu mereka katakan.
Kini, lihatlah aku hampir saja melangkahkan kaki untuk lebih dekat pada mimpiku. Setelah mereka mengzinkanku mengisi formulir pendaftaran mahasiswa baru, setelah aku melampaui tiap tahapan dan berhasil mengikuti semuanya dengan baik, mereka justru mengatakan aku tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu? Permainan apa sebenarnya yang mereka buat untuk mimpiku? Sungguh aku tidak me ngerti.
“Berdoa Nak, bawa semuanya dalam doa,” mereka kembali mengingatkanku. Aku tahu itu, mereka selalu berkata demikian. Aku sudah berdoa, berdoa dan berdoa. Aku meminta Tuhan untuk memberikanku jalan agar aku boleh semakin dekat dengan mimpiku. Tapi inikah yang harus aku terima sebagai jawaban dari doa-doaku? Mereka tidak memiliki cukup uang untuk mendanai kuliahku. Tidak ada, bahkan untuk membayar uang masuk pun tidak ada.
Aku kembali menangis dan hanya menangis. Seharusnya mereka tidak bermain-main dengan mimpiku. Seharusnya mereka tidak memberikanku diary biru itu. Kenapa tidak mereka sampaikan sejak awal jika memang akhirnya akan begini? Kenapa tidak membiarkanku menjalani kehidupanku tanpa impian? Aku lelah, lelah dan lelah dengan semua harapan palsu itu.
***
Aku menatap mereka, kedua orang tuaku, sungguh air mata ini tidak dapat aku bendung. Mengalir begitu saja. Aku ingin mengatakan sesuatu pada mereka, tapi aku tidak memiliki kekuatan untuk itu. Sesak rasanya. Lagipula aku tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini.
“Maaf...” itu adalah kata pertama yang berhasil aku lontarkan pada mereka yang tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya telah terjadi padaku.
“Maaf...” dan itu adalah kata selanjutnya yang bisa aku ucapkan pada mereka yang telah memberiku sebuah nama, nama yang memliki arti anugerah. Aku menyodorkan amplop coklat itu kepada mereka. Ayahku yang mengambilnya. Dia bergegas menuju kamarnya dan berusaha menemukan kacamata plusnya.
“Ada apa sebenarnya?,” ibuku tetap menatap ke arahku yang tidak dapat menghentikan tangis ini. Beberapa saat ayahku kembali. Dia membaca lembaran kertas di dalam amplop coklat yang dialamatkan bukan untukku itu. Amplop coklat yang diberikan guruku saat aku sedang membaca novel di perpustakaan tadi pagi. Aku menunduk, menunduk lemah, membiarkan air mata yang menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Ibuku mengalihkan pandangannya ke arah ayahku yang mungkin mulai mengerti dengan situasi ini. Ibu beranjak mendekati ayahku. Ia mencoba menghapus rasa keingintahuannya, berdiri di sebelah ayahku untuk turut menyelidiki isi kertas itu.
Ayah melepaskan kacamatanya. Aku memberanikan diri melihat ke arah seorang pria yang telah berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, yang setiap hari membiarkan kulitnya dibakar matahari, bekerja keras hanya untuk membuat keluarganya bahagia. Dan Ibu, air matanya menetes lagi. Air mata yang selalu menetes dengan tulus untuk anak-anaknya. Sungguh Tuhan, aku bersyukur Engkau menempatkanku di tengah-tengah keluarga ini.
Amplop coklat itu memang tidak ditujukan untukku, tapi isi dari amplop itu sungguh adalah anugerah yang Tuhan siapkan. Namaku ada di dalamnya, nama yang memiliki arti anugerah. Beasiswa penuh. Itu pesan yang tertulis didalamnya. Ampuni aku Tuhan untuk apa yang telah aku lakukan dan terimakasih untuk semua yang telah terjadi, yang telah mengajarkan kami bahwa Engkau membuat semua indah pada waktunya. Bahwa Engkau telah siapkan yang terbaik untuk kami.

-DRA-Singaraja- March 10, 2012

No comments:

Post a Comment