Saturday, December 22, 2012

"Mengapa" dan "Mengapa Tidak"

Jurnalistik mengenal 5W+1H. Setiap mereka yang mendapat materi Bahasa Indonesia, tentu sudah mengenal istilah ini. Aku belajar 5W+1H sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, bertahun-tahun yang lalu. Lima ditambah satu, hasilnya enam. Secara sederhana aku awalnya berpikir bahwa hanya akan ada enam pertanyaan yang akan digunakan; Who, What, Where, When, Why dan How. Bukankah itu sangat mudah? Saat melakukan praktik wawancara, yang perlu kulakukan hanya menerjemahkan kata-kata itu ke dalam Bahasa Indonesia, kemudian membuat meletakkan mereka di awal pertanyaanku. Jika aku buat listnya, maka akan menjadi seperti ini:
Siapa............?
Apa..............?
Dimana........?
Kapan..........?
Mengapa......?
Bagaimana....?

Berbekal enam pertanyaan yang sudah tersusun sedemikian rupa dan sedemikian hingga, berita yang aku buat akan memenuhi kriteria sebagai berita yang baik. That's what I thought... But, I was wrong!
Saat berhadapan dengan narasumber keenam pertanyaan itu tidak akan cukup!Ada banyak informasi yang  masih bisa digali. Siapa bisa menjadi 5 pertayaan, demikian pula dengan kalimat tanya yang lain.

That is the reality! Aku sadar bahwa ada banyak pertanyaan yang bisa bermunculan selama kita masih hidup di tengah dunia ini, selama kita masih disebut manusia. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saat ini, aku ingin berkisah tentang "mengapa" dan "mengapa tidak".

Mungkin saat membacanya, ada diantara pembaca yang bertanya: Mengapa harus "mengapa" dan "mengapa tidak"? Mengapa tidak "apa" dan "bagaimana". Jika memang pertanyaan itu yang muncul, maka itulah jawabannya. Bisa mengerti apa yang kumaksud?

Entah karena mind-setting manusia telah diatur seperti itu, atau karena ada faktor-faktor lain (mungkin ada yang bisa memberikan tanggapannya tentang hal ini?) saat ada sesuatu yang kita anggap tidak sesuai dengan keinginan, 2 pertanyaan itu otomatis akan muncul.

"Mengapa" menggambarkan bahwa sebenarnya kita adalah pribadi yang kristis, juga pribadi yang selalu ingin tahu, terutama hal-hal baru, dan apa yang belum kita mengerti. Tidak saja dengan mudahnya setuju terhadap sesuatu. It's good, isn't it? Ini adalah salah satu tameng yang bisa membuat kita bertahan pada apa yang kita yakini, dan tidak jatuh pada apa yang kita anggap tidak sesuai. Kurangnya adalah pertanyaan terkesan sebagai penanda bahwa sebenarnya kita sedang "menentang". Iya 'kan?

Sedangkan, "mengapa tidak" sejauh ini, "mengapa tidak" (sejauh yang aku mengerti, jika ada  yang ingin menambahkan, silakan...) memiliki dua arti yang sangat signifikan. Pertama, ini mengindikasikan  kreativitas yang kita miliki karena "mengapa tidak" biasanya dibarengin dengan statement, usulan, pendapat atau kata-kata yang ada dalam satu kingdom dengannya (jadi masuk istilah di IPA, see: klasifikasi makhluk hidup -____-"). Di satu sisi, ini membuat kita terkesan seperti "yang paling sok tau". Bener gak?


Sebenarnya apa yang aku tulis diatas hanya pemahbah basa-basi. Bukan itu yang ingin aku sampaikan. Mengapa harus menggunakan introduction yang begitu panjang? Mengapa tidak langsung pada pointnya? Aku juga tidak tahu mengapa. Aku hanya ingin menulis, dan apa yang muncul, aku tulis semua. Maaf bagi pembaca yang merasa keberatan dengan semua ini. Tapi serius, ada hal penting yang ingin aku sampaikan terkait penggunaan dua kalimat itu dalam konteks kehidupan.

Pernahkan lelah menjalani setiap rutinitas dalam kehidupan? Pernahkan merasa BOSAN, JENUH, TERTEKAN dengan situasi yang kita hadapi? Pernahkah merasa bahwa apa yang kita alami tidak adil bagi kita? Adakah kita pernah menanyakan ini:
- Mengapa saya lahir di keluarga ini? Mengapa tidak di keluarga A, B, C, D, E atau di keluarganya?
- Mengapa saya harus mengalami ini? Mengapa tidak membiarkan saya bersenang-senang?
- Mengapa saya harus bersamamu? Mengapa tidak bersama dengan orang lain?
- Mengapa saya harus hidup sebagai saya? Mengapa saya tidak hidup sebagai kamu?
- Mengapa .........................................? Mengapa tidak........................................? (isi saja dengan beribu kemungkinan pertanyaan yang muncul).

Bisa menangkap apa yang ingin kusampaikan? Kita terlalu sering mengeluh, kemudian menuntut Tuhan untuk memberikan apa yang kita anggap baik, menurut pandangan kita, bukan menurut apa yang Tuhan pandang baik. Siapa yang menciptakan manusia? Jadi siapa yang sebenarnya lebih mengerti apa  yang kita perlukan, apa yang baik dan tidak baik untuk kita? Adakah kedua pertanyaan itu mewakili rasa syukur atau sebaliknya? Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu disini, ini tergantung pada diri kita masing-masing.

Sampai disini saja. Hope u can get the point of those paragraphs! Hopefully! May God be with us! (DRA, penghujung 2012)

Friday, December 14, 2012

Tak Seharusnya Melupakan

       Sudah lama aku tidak pulang. Dan entah mengapa, malam ini aku rindu untuk mengunjungi "rumah". Rumah ini bukan rumah biasa, bukan juga sebuah rumah yang luar biasa. Yang membuat rumah ini sedikit terlihat istimewa adalah kunci untuk membuka pintunya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang dapat membuka rumah ini, kecuali aku dan sahabat terbaikku. Masih ingat cerita tentang sahabatku? Sebelumnya, aku sempat menceritakan kisahnya bersama "L", laki-laki yang sangat dikaguminya disini.
         Baik, lupakan tentang kisah masa lalunya. Kali ini, ada hal lain yang akan aku ceritakan, masih tentangnya. Aku bertemu dengannya malam ini di ruang tamu setelah hampir sebulan belakangan ini kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sibuk dengan tugas-tugas akhir semester di kampusku, dan dia sibuk dengan tulisan-tulisannya. Jelas aku terkejut begitu melihatnya tengah duduk sambil memainkan handphonenya. Biasanya jika ingin berkunjung, kami pasti membuat janji terlebih dahulu untuk pergi bersama-sama. Tapi, malam ini tidak demikian.
        "Kenapa gak bilang mau kesini?" tanyaku protes. Dia, sahabatku itu, berhenti memainkan handphonenya sembari tersenyum. Berbeda denganku, dia sama sekali tidak terkejut.
        "Emang kamu bilang?" Dia balik mengajukan pertanyaan. Sejenak, aku berusaha  mencerna makna di balik kalimatnya itu. Dua sesi mata kuliah pragmatics tadi pagi berhasil membuatku mengambil kesimpulan bahwa ada hal lain yang ingin dia sampaikan.Conversational Implicature, Politeness, Leech's Maxims, Brown and Lavinson muncul dalam pikiranku. Ah, padahal malam ini aku mampir ke rumah untuk terlepas dari kejenuhan akan tugas-tugas kuliah itu. Sahabatku justru mengundang mereka datang lagi.
         "Kapan ya terakhir kita ngumpul bareng?" tanyanya lagi. Aku kembali diam, tapi otakku tetap menyelidiki makna kalimat yang dia ucapkan. Aku duduk di sofa, tepat di hadapannya. Dia masih tetap tidak mengubah eskpresi wajahnya, tetap ada senyum disana, dia bahagia.
         "Lupa ya ngabarin aku?"
          Eh, lupa? Aku kembali mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di rumah ini. Aku berusaha mengingat "lupa" yang tadi disebutkan oleh sahabatku. Saat aku tengah berusaha keras, tiba-tiba aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang dia ajukan. Sindiran.
         "Maaf," kataku mengakui kesalahan. Dia tetap tersenyum. Sahabatku ini, dia sama sekali tidak marah. Padahal jelas-jelas aku melupakannya. Bahkan, aku sepertinya dia sudah kuanggap hilang dalam kehidupanku sejak final project pertama yang harus kubuat sebulan yang lalu.
         "It's ok! Aku juga minta maaf. Gak ngabarin kamu karena takut ganggu."
         Kini aku bisa tersenyum. Aku kembali belajar sesuatu dari dia, sahabatku (sepertinya aku memang lebih sering belajar darinya). Seperti apa pun kesibukan yang kumiliki, tidak seharusnya aku melupakannya. Bagaimana pun kami adalah sahabat baik, tidak ada alasan untuk tidak saling menyapa ataupun memberi kabar. Untunglah dia tidak salah paham. Kami akhirnya menghabiskan waktu hingga 30 menit untuk menceritakan apa-apa saja yang telah terjadi selama kami tidak pernah bertemu. Meskipun banyak cerita yang masih harus di-pending, setidaknya itu cukup memberikanku pelajaran baru untuk melanjukan hariku esok.

*Dear sahabatku, sampai kapan kamu tidak ingin namamu disebut dalam catatan-catatan kecilku? Malu memiliki seorang sahabat yang tak pandai merangkai kata sepertimu? Tapi tak apalah, selama aku masih diizinkan untuk menulis pengalaman kita dan berbagi sesuatu kepada mereka, aku tidak akan pernah mendesakmu. Thanks for today ^^
        

Saturday, September 15, 2012

Berdampingan pada Pijakan yang Berbeda

Apa yang kita rindukan saat berada bersama dengan seseorang yang kita sayangi?
Saat mendapat pertanyaan yang demikian, tentu ada banyak jawaban yang bisa kita sampaikan. Dari semua jawaban-jawaban yang mungkin saja muncul, adakah kesimpulannya bahwa sesungguhnya yang kita inginkan adalah selalu ingin merasa dekat dengan pasangan kita sembari menikmati perputaran waktu? Sebagian besar, atau hampir semua kita akan memberikan jawaban: Ya!

Berjalan berdampingan adalah salah satu hal yang dapat memutus jarak (yang mampu terlihat) antara kita dan pasangan. Di satu sisi, pasangan yang berjalan berdampingan terlihat begitu "indah". Wanita khususnya akan merasa lebih tenang karena disebelahnya ada seorang pria yang akan selalu menemani dan menjaganya. Pria pun akan merasa nyaman karena selain mampu melindungi pasangannya, ia juga memiliki seorang partner yang dapat diajaknya untuk berbagi. Keduanya dapat saling mendukung satu dengan yang lain.

Perasaan aman yang sering kita rasakan saat berjalan berdampingan membuat kita seringkali melupakan bahwa sesungguhnya kita dan pasangan kita memiliki sebuah perbedaan yang significant. Saat kita berada disisi pasangan kita, itu berarti kita sedang melangkah pada garis yang berbeda. Ada dua titik berbeda di depan sana yang sedang kita tuju. Secara tidak langsung, ini telah menjadi simbol bahwa setiap kita, meskipun terikat oleh sebuah perasaan yang sama, tetap memiliki suatu perbedaan. Bisa saja perbedaan itu berupa cara pandang kita terhadap sesuatu, tujuan dan cita-cita, bahkan impian kita untuk kehidupan di masa yang mendatang.

Seringkali, jika kita tidak menyadari perbedaan itu sejak awal, akan ada paku-paku kecil yang menganggu langkah kita untuk tetap berjalan berdampingan. Jika salah satu diantara kita telah, sedang atau akan memutuskan untuk berjalan berdampingan dengan seseorang yang kita sayangi, ada baiknya kita mau terlebih dahulu saling memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Jika memang ada hal-hal yang kita anggap tidak sesuai, mari bicarakan baik-baik agar dapat menemukan cara penyelesaiaan yang tepat. Jangan sampai perbedaan justru melukai perjalanan yang telah kita harapkan dapat berjalan dengan indah. Selamat melangkah dalam kebahagiaan saudara-saudaraku ^^ (DRA, 2012)

Wednesday, May 9, 2012

Kita, Daun Ini....

Ada banyak hal yang membuka mataku bahwa perbedaan yang menjadi satu itu adalah keindahan yang luar biasa. Suatu pagi, aku memperhatikan sebuah pot dengan sebuah tanaman tanpa bunga di depan kamar kosku. Entah mengapa tiba-tiba terlintas dalam pikirannku sebuah pertanyaan, "Mengapa Tuhan membuat tangkai tanaman ini dipenuhi beberapa helai daun? Kenapa tidak membiarkan dalam satu tangkai hanya ada sehelai daun? Bukankah dengan demikian daun akan tumbuh lebih baik karena unsur-unsur yang dibutuhkannya akan tercukupi dengan maksimal tanpa harus terbagi dengan yang lain?"

Tidak lama setelah  itu, aku temukan jawabannya. Manusia seharusnya belajar dari daun ini. Aku mulai menganalogikannya seperti ini. Jika saja manusia adalah daun itu dan tangkai adalah tempat dimana manusia itu tinggal maka ada hal menarik yang dapat dilihat. Kita, manusia, mari belajar untuk tidak menjadi egois, bisa hidup dengan baik bersama dengan orang lain di dalam satu area, tidak egois, tidak ingin menang sendiri dan selalu mau berbagi dengan orang lain. Jika hal  tersebut dapat terlaksana, maka akan keindahan yang akan tercipta. Sama seperti daun-daun ini..... (DRA, 2012) 

Saturday, April 14, 2012

Smile to the World

               “Language is powerful,” my lecturer said without any expression. My classmates and I were silent.
            “You can do anything with language,” he continued and kept staring us, his innocent students, still with his flat expression.
            “Do you know the reasons?,” he paused for a moment, then asked the smartest student to answer it.
            “Tira, can you give me an answers?,” his voice was louder. Tira shook her head and bowed. There’s no answer from her.
            “Who knows?,” My lecturer asked again. Billy, the lowest  ranking student in my class rose his hand. With smile, Billy said confidently,”Because it has been successful in making me afraid to take your class.” He stopped his words, and the class was full with laugh. While, my lecturer was silent.
           


Friday, April 13, 2012

Letter to God (What I've learnt from it)


Letter to God
 
Letter to God tells about the great spirit of the young boy, Tayler (Tanner Maguire), who has the acute cancer. He never give up to face his disease. It makes him success to inspire the people around him.
This inspiring movie is started by the scene of the posting activity in the morning. The boy named Tayler puts a letter in the mail box in front of his house secretly. The postman doesn’t feel weird when see the destination address of Tyler’s letter. Everyday Tayler does the same thing.  He sends a letter to God.
Having the acute cancer, Tayler never give up. One of the reasons why he still survives is the beloved people around him. In that house, he lives with her mother, Maddy Doherty (Robyn Lively), her older brother, Ben Doherty (Michael Bolten) and his grandmother, Olivia (Maree Cheatam) who always supports him. His father passed away some years ago. Although his mother is a widow, she always tries her best for Tayler. Ben and their grandmother treat him well too when his mother goes to work. Tyler has also a best friend, Samatha (Bailee Madison).  She helps Tyler not only in the house but also in school.
Unexpectedly, Tayler’s letters give the great impact for the Brady McDaniels (Jeffrey Johnson), the new postman who feels confused where he must bring Tyler’s letters. Then, he decides to bring the letters to Church. But the Pastor refuses the letters and asks him to decide where he should bring the letters by himself.  Finally, Brady reads all of Tyler’s letters. He gets many moral values from those letters.
Like what Brady has got, I can also learn about the spirit of live, the way to survive in the difficult situation and face the problems bravely. I don’t need to be afraid to face the problems that I’ve got because God is always there for me. “No temptation has overtaken you except what is common to humanity. God is faithful and He will not allow you to be tempted beyond what you are able, but with the temptation He will also provide a way of escape, so that you are able to bear it” (1 Corinthians 10:13).
I has also to be grateful with the all of the conditions in my life. I believe God has the special purposes behind the problems that I've faced. Beside that, this movie reminds me to keep the relationship that I have with my family, my friends or the other people around me. Giving respect to others is better than waiting for it. :)

A Journalist


Being journalist is fun. He or she is the one who seeking for information such as economic growth, education, entertainment, etc. There are some advantages that will you get if you want to be a journalist. The first, you will know more about the actual and factual news that happen around you. Besides, you will have the wide relationship with others. You may also have chances to interview the popular and important person such as government or celebrities to ask about the information that you need for your journals. In addition, you can go to the other places to search the news. You may visit the great place even go overseas freely because your company pays it for you. The last, you will get salary to support your life.
Although there are many advantages, journalist has some weakness too. You must be an available person. You have to be ready every time and every where you get the job to report the events or news. For the example there is unpredictable moment such as disaster that you do not know when it will happen. You have to ready to report it. Beside that, you can not spend much of your time with your family, your closed friends or your beloved person. The other thing is you must be ready to accept the critics from the other people who have the contrast opinion with your journals.

Monday, March 26, 2012

Renungan-Motivasi Pelayanan

Sahabatku, L dan Pelayanannya

Aku memiliki seorang sahabat dekat. Kemanapun dan dimanapun kami selalu bersama. Aku dan dia sebaya. Meskipun demikian, kadang aku manggil dia “mbak’” karena kedewasaannya yang melebihi remaja seusia kami. Di lain waktu, aku manggil dia “dik” karena sifatnya yang seringkali terlihat seperti anak-anak. Dia terlihat seperti memiliki dua sisi yang berbeda. Ada juga yang bilang dia “bunglon”, dapat berubah sewaktu-waktu.
 Suatu ketika, dia bercerita padaku tentang seseorang yang dia suka. What a surprise! Akhirnya dia mau membahas hal ini juga, biasanya dia cuek bebek kalau soal ini. Sebagai sahabat, sahabat yang selalu ada untuknya, sudah pasti aku harus mendengarkan curhatnya kali ini. Terungkaplah bahwa dia telah menyukai seseorang sejak lama. Sejak hampir 6 tahun yang lalu. Ini sebenarnya yang membuatnya tidak pernah membicarakan soal pacar, pasangan hidup or whatever yang berhubungan dekat dengan kata-kata kunci tersebut diatas.

Aku sempat mengerutkan dahi ketika mendengar awal mula perasaannya muncul. Bisakah menyukai seseorang hanya dalam waktu yang singkat? Dia dan laki-laki yang disukainya (selanjutnya dalam tulisan ini, laki-laki itu akan disebut “L”) tidak berada dalam satu wilayah yang sama, tidak pernah berada dalam satu sekolah yang sama, apalagi pergi bersama. Tidak pernah! Pokoknya mereka tidak sering ketemu. Hanya sesekali di tempat-tempat umum atau sekedar papasan di jalan. Dalam setahun, mungkin dia hanya bisa melihat laki-laki itu sekali atau dua kali, bahkan mungkin tidak melihatnya sama sekali. Lalu kenapa bisa muncul perasaan itu? Aku tidak mengerti mengapa dia bisa mencintai dengan begitu tulus dan sungguh-sungguh dalam kondisi yang demikian.
Kemudian aku, sebagai sahabat terdekatnya, berusaha memberikan sedikit masukan untuknya. Aku yakin, siapa pun yang mengetahui kisahnya akan memberikan nasehat yang sama untuknya. Aku bilang ke dia, untuk memilih; ingin tetap mencintainya dan mengungkapkan perasaannya ke L, atau melupakan cintanya itu kemudian membuka hatinya untuk laki-laki lain. Tapi ternyata, dia tidak memilih kedua-duanya.
Dia bukan tipe wanita yang mudah mengungkapkan perasaannya. Dia juga bukan tipe wanita yang mudah untuk melupakan perasaannya. Karena itu dia tidak bisa memilih keduanya. Aku berusaha mengerti kondisinya, meskipun aku sedikit kesal, karena dengan ini dia terkesan sedang menyakiti dirinya sendiri. Menyimpan perasaan yang demikian selama bertahun-tahun bukankah akan terasa sangat sakit? Aku merasakannya, saat dia merasa sakit, aku pun merasakan sakit hati. Itulah mengapa aku dan dia disebut “sahabat”.

Dia juga bilang padaku bahwa dia ingin L dapat mengetahui perasaannya. Dia juga berharap bisa bersama dengan L. Sering juga dia membayangkan masa-masa indah yang dapat mereka lalui jika bersama. Suatu kali, terlintas dalam benaknya untuk memanfaatkan apa yang dia punya untuk menarik perhatian L. Sahabatku ini cukup aktif dalam pelayanan di Gereja. Itu sebabnya dia ingin menarik perhatiaan L dengan meng’expose dirinya. Mulai muncul keinginan agar orang-orang mengaguminya, hingga ia dibicarakan orang-orang, namanya dikenal luas dan L mungkin saja bisa mendengar tentang hal itu. Dia ingin “terkenal”.

Hampir saja dia menjalankan rencananya ini, dia tertegur oleh Firman Tuhan yang didengarnya dalam satu ibadah. Selama ini, dia percaya bahwa Tuhan akan memberikannya yang terbaik. Namun, secara tidak langsung dia meragukan rencana Tuhan. Dia menjadi tidak sabar, susah mengendalikan keinginannya dan berpikir bahwa semua bisa dilakukannya seorang diri, tanpa campur tangan Tuhan. Dia lupa bahwa semua berasal dari Tuhan.
Dia akhirnya merenungkan kembali strategi yang nyaris dijalankannya. Benarkah jika demikian motivasi pelayanan yang dia miliki? Talenta yang ada padanya adalah anugerah dari Tuhan. Tidak layak dia memegahkan diri dan mencari kepuasan pribadinya semata. Sungguh dia merasa sangat bersyukur dengan teguran itu.
Kini, dia terus berusaha mengesampingkan motivasi-motivasi yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Dia yakin, Tuhan sanggup melakukan segala sesuatunya. Jika Tuhan memang berkenan dia bersama L, Tuhan pasti senantiasa menolongnya, entah nanti L akan mengetahui perasaannya, atau dia dapat melupakan perasaannya pada L dan berada bersama orang yang Tuhan pilihkan. Dia percaya semua indah pada waktu-Nya.
Aku bersyukur bisa ikut terlibat dalam pergumulan sahabatku ini. Semoga kisah sahabatku ini bisa mengingatkan kita semua tentang motivasi yang ada dalam diri kita dalam pelayanan. Tuhan memberkati 

Nb: Dear sahabatku, terimakasih untuk membagikan ini padaku. Percayalah Tuhan mengasihi kita semua dan akan memberikan yang terbaik. Semua indah pada waktuNya.

Saturday, March 10, 2012

Anugerah dalam Amplop Coklat

Aku berjalan seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih percaya pada mimpiku. Aku menyapa dan tersenyum pada orang-orang di sekitarku seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih berpegang teguh pada mimpiku. Dan aku masih duduk di tempat ini seperti hari-hari biasa. Seperti hari dimana aku masih menyematkan mimpi itu dalam hatiku.
“Tidak ikut?,”tanya seorang sahabatku. Aku hanya tersenyum seraya memamerkan novel yang sedang aku baca.
“Tanggung,” jawabku berusaha menutupi keinginan pergi bersama dengannya. Kuharap dia tidak curiga dan mempercayai bahwa aku tidak ingin pergi denganya karena alasan ini; karena aku sedang sibuk mencermati tiap kata dalam novel yang sedang aku baca di perpustakaan sekolahku ini. Sahabatku itu hanya terdiam. Sejenak ia terus menatap padaku dan juga novel ini. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu, entah apa. Atau mungkin juga dia sedang menyelidiki kebenaran dari alasan yang telah aku lontarkan. Ya, tidak salah. Tidak salah jika dia berpikiran demikian karena tidak biasanya aku menolak ajakan untuk membicarakan mimpiku.
“Yakin?,” selidiknya. Aku kembali mengangguk kecil dan membuka lembar berikutnya dari novel ini. Dia pun akhirnya pergi, pergi meninggalkan aku yang telah meninnggalkan mimpiku juga. Aku kembali memainkan lembaran-lembaran dalam novel. Sesungguhnya sejak tadi aku hanya memanfaatkan novel ini sebagai alibi untuk menghindar dari hal-hal yang mengingatkanku pada mimpiku. Tidak ada satu halaman pun yang benar-benar sedang kubaca.
Tiba-tiba saja seorang laki-laki paruh baya berpakaian dinas menghampiku. Beliau memanggil namaku, nama yang berarti anugerah. Mungkin sejak lahir, mereka, orang tuaku, menganggap aku sebagai anugerah, atau mungkin pemberiaan nama itu mereka maksudkan agar aku bisa menjadi anugerah untuk orang lain disekitarku. Awalnya, saat aku masih percaya pada mimpi-mimpiku, aku masih meyakini itu benar. Namun sekarang, tidak demikian lagi adanya.
Aku tersenyum pada beliau, berperilaku seolah tidak pernah terjadi apa-apa dalam kehidupanku. Semua baik-baik saja. Ya, semua baik-baik saja. Itu yang ingin aku sampaikan pada semua orang disekitarku. Beliau menyodorkan sebuah amplop coklat yang perekatnya sudah dilepas. Aku menerimanya, mengamati bagian luar amplop itu. Tidak ada namaku. Bukankah ini surat dinas yang ditujukan untuk sekolahku dan bukan untukku? Mengapa menunjukkan ini padaku? Sebuah amplop. Hanya sebuah amplop berwarna coklat, tanpa namaku, nama yang mereka artikan sebagai anugerah.

***
Aku membanting diaryku di hadapan mereka. Di hadapan mereka yang memberikanku nama yang berarti anugerah.
“Jadi seperti ini arti nama yang Ayah dan Ibu artikan sebagai anugerah?” tanyaku pada mereka dengan nada setengah berteriak dan linangan air mata.
“Jadi ini? Ini hasilnya?” Aku kembali melontarkan pertanyaan. Mereka hanya diam menatapku. Di wajah mereka terlukis kepedihan yang mendalam. Entah karena mereka merasa bersalah atas apa yang mereka telah lakukan padaku, atau karena mereka kecewa akan sikapku, aku tidak tahu. Yang jelas saat ini tidak ada yang bisa merasakan betapa sakitnya aku.
Aku lemas, bahkan aku tidak sanggup untuk berdiri lagi. Tangisku semakin menjadi-jadi setiap kali aku mengingat akan mimpiku. Dulu mereka, mereka yang memberiku nama dengan arti anugerah ini, membiarkanku terlarut dalam mimpi-mimpiku. Diary biru ini, dary yang mereka berikan padaku untuk mimpiku. Mereka memintaku menuliskan mimpiku disini. Di diary biru ini. Bermimpi seperti samudera atau langit biru yang luas yang tidak memiliki batas. Aku boleh memimpikan apa pun, tanpa harus dibatas-batasi. Itu yang selalu mereka katakan.
Kini, lihatlah aku hampir saja melangkahkan kaki untuk lebih dekat pada mimpiku. Setelah mereka mengzinkanku mengisi formulir pendaftaran mahasiswa baru, setelah aku melampaui tiap tahapan dan berhasil mengikuti semuanya dengan baik, mereka justru mengatakan aku tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi itu? Permainan apa sebenarnya yang mereka buat untuk mimpiku? Sungguh aku tidak me ngerti.
“Berdoa Nak, bawa semuanya dalam doa,” mereka kembali mengingatkanku. Aku tahu itu, mereka selalu berkata demikian. Aku sudah berdoa, berdoa dan berdoa. Aku meminta Tuhan untuk memberikanku jalan agar aku boleh semakin dekat dengan mimpiku. Tapi inikah yang harus aku terima sebagai jawaban dari doa-doaku? Mereka tidak memiliki cukup uang untuk mendanai kuliahku. Tidak ada, bahkan untuk membayar uang masuk pun tidak ada.
Aku kembali menangis dan hanya menangis. Seharusnya mereka tidak bermain-main dengan mimpiku. Seharusnya mereka tidak memberikanku diary biru itu. Kenapa tidak mereka sampaikan sejak awal jika memang akhirnya akan begini? Kenapa tidak membiarkanku menjalani kehidupanku tanpa impian? Aku lelah, lelah dan lelah dengan semua harapan palsu itu.
***
Aku menatap mereka, kedua orang tuaku, sungguh air mata ini tidak dapat aku bendung. Mengalir begitu saja. Aku ingin mengatakan sesuatu pada mereka, tapi aku tidak memiliki kekuatan untuk itu. Sesak rasanya. Lagipula aku tidak berhasil menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan bagaimana perasaanku saat ini.
“Maaf...” itu adalah kata pertama yang berhasil aku lontarkan pada mereka yang tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya telah terjadi padaku.
“Maaf...” dan itu adalah kata selanjutnya yang bisa aku ucapkan pada mereka yang telah memberiku sebuah nama, nama yang memliki arti anugerah. Aku menyodorkan amplop coklat itu kepada mereka. Ayahku yang mengambilnya. Dia bergegas menuju kamarnya dan berusaha menemukan kacamata plusnya.
“Ada apa sebenarnya?,” ibuku tetap menatap ke arahku yang tidak dapat menghentikan tangis ini. Beberapa saat ayahku kembali. Dia membaca lembaran kertas di dalam amplop coklat yang dialamatkan bukan untukku itu. Amplop coklat yang diberikan guruku saat aku sedang membaca novel di perpustakaan tadi pagi. Aku menunduk, menunduk lemah, membiarkan air mata yang menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi. Ibuku mengalihkan pandangannya ke arah ayahku yang mungkin mulai mengerti dengan situasi ini. Ibu beranjak mendekati ayahku. Ia mencoba menghapus rasa keingintahuannya, berdiri di sebelah ayahku untuk turut menyelidiki isi kertas itu.
Ayah melepaskan kacamatanya. Aku memberanikan diri melihat ke arah seorang pria yang telah berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya, yang setiap hari membiarkan kulitnya dibakar matahari, bekerja keras hanya untuk membuat keluarganya bahagia. Dan Ibu, air matanya menetes lagi. Air mata yang selalu menetes dengan tulus untuk anak-anaknya. Sungguh Tuhan, aku bersyukur Engkau menempatkanku di tengah-tengah keluarga ini.
Amplop coklat itu memang tidak ditujukan untukku, tapi isi dari amplop itu sungguh adalah anugerah yang Tuhan siapkan. Namaku ada di dalamnya, nama yang memiliki arti anugerah. Beasiswa penuh. Itu pesan yang tertulis didalamnya. Ampuni aku Tuhan untuk apa yang telah aku lakukan dan terimakasih untuk semua yang telah terjadi, yang telah mengajarkan kami bahwa Engkau membuat semua indah pada waktunya. Bahwa Engkau telah siapkan yang terbaik untuk kami.

-DRA-Singaraja- March 10, 2012

Friday, February 17, 2012

Pelayanan Bagi Pendamaian

PELAYANAN BAGI PENDAMAIAN KONFLIK
DALAM ORGANISASI KATEGORIAL

I.PENDAHULUAN
Kata konflik sering dihubungkan dengan pertengkaran, perkelahian, pengrusakan ataupun hal-hal lain yang memiliki konotasi negatif. Konflik selalu melibatkan dua atau lebih, sisi yang berlawanan, baik itu berhubungan dengan orang, peraturan, budaya, maupun benda-benda tertentu.

Contoh sederhana adalah konflik batin, artinya bahwa dalam diri seseorang terdapat dua atau lebih gagasan atau keinginan yang saling bertentangan; hal ini biasanya akan sangat mempengaruhi tingkah lakunya. Contoh lain adalah konflik sosial, artinya ada pertentangan/persaingan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh.

Konflik sendiri telah terjadi sejak masa Perjanjian Lama. Ada beberapa kisah yang kembali mengingatkan bagaimana konflik tersebut terjadi. Misalnya saja, konflik antara Esau dan Yakub saat memperebutkan hak kesulungan. Meskipun konflik tersebut terjadi dalam waktu yang cukup lama, namun akhirnya Esau dan Yakub dapat berbaikan kembali.

Gereja sebagai perpanjangan cinta kasih kepada dunia ini, memiliki tugas yang datang dari Kepala Gereja, yakni Yesus Kristus. Gereja bukan hanya dimengerti sebagai tempat ibadah orang Kristen saja, namun memiliki arti yang lebih dalam lagi yaitu “dipanggil keluar.” Tugas panggilan gereja tersebut adalah koinonia (persekutuan), marturia (kesaksian) dan diakonia (pelayanan). Diakonia adalah salah satu tugas panggilan gereja yang tidak bisa dilepaskan dari gereja itu sendiri, atau dengan kata lain tidak ada gereja yang tidak ber-diakonia (Markus 10:45).

Namun dewasa ini, tidak jarang terjadi konflik di tengah-tengah pelayanan, khususnya di dalam kepengurusan kategorial yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam maupun luar pengurus kategorial. Secara tersirat hal ini mempengaruhi kinerja dari pengurus kategorial dan selanjutnya berpengaruh pada pelayanan yang dilakukan bagi Tuhan dan sesama. Oleh karena itu, secepatnya konflik dalam organisasi kategorial ini perlu diselesaikan.


II. PEMBAHASAN
A. Penyebab Terjadinya Konflik dalam Organisasi Kategorial

Biasanya gereja maupun pelayanan hanya terfokus pada perhimpunan kehadiran dalam ibadah-ibadah dan aktivitas kerohanian sebagai nilai kekristenan itu sendiri sehingga melupakan makna dari persekutuan. Masing-masing individu berlomba untuk mendapatkan penghargaan atas kinerjanya dari “dunia” bukan untuk hormat dan kemuliaan Nama Tuhan. Tipe pelayanan sepeti inilah yang seringkali memacu rasa egois pada diri individu, dalam hal ini pengurus kategorial.

Hal ini bertentangan dengan Firman Tuhan bahwa dalam pelayanan biarlah Nama Allah dimuliakan di dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus (I Pet 4:11b). Gereja ataupun pelayanan tidak atau kekurangan tujuan yang pasti. Keegoisan dari masing-masing individu yang terlibat dalam pelayanan seringkali memicu adanya konflik. Konflik ini selanjutnya menimbulkan ketidaknormalan situasi dan kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, disebabkan oleh kesalahpahaman dalam mengartikan tindakan, perkataan orang lain, situasi maupun kondisi. Kesalahpahaman ini meliputi: ketidakmampuan dalam memahami dengan jelas semua unsur-unsur yang terlibat dalam proses pelayanan, salah menafsirkan maksud atau motif dibalik perkataan atau perbuatan seseorang dan ketidakcocokkan seperti pertengkaran atau perselisihan karena kurang puas atas jawaban dan tindakan seseorang (Filipi 1: 15a; Amsal 10:12a; Amsal 17:19a).

Kedua, kekacauan administrasi dalam organisasi. Seluruh administrasi tersedia, tetapi tidak tersusun secara kronologis atau tidak sesuai dengan kebiasaan berpikir sehingga muncul sikap saling menyalahkan dan menganggap bahwa “partner” pelayanan-lah yang menyebabkan hal ini terjadi. Dengan kata lain, tidak ada kerja sama yang baik dan kesatuan hati dalam organisasi.

Adanya perselisihan antar pengurus kategorial yang disebabkan oleh rasa ketidakcocokan, kebencian dan iri hati yang timbul dari masing-masing individu. Ini selanjutnya berdampak pada kinerja pengurus dalam mengelola dan mengkoordinasi pelayanan yang ada. Jelaslah ini menyebabkan pelayanan yang dilakukan tidak sungguh-sungguh memuliakan Tuhan karena apa yang dilakukan untuk Tuhan tidak didasari dengan ketulusan dalam melayani. Padahal Tuhan mau kita melakukan pelayanan dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah untuk kemuliaan-Nya (I Pet 4:11b).

B. Pelayanan Pendamaian dalam Mengatasi Konflik

Sebagai satu tubuh Kristus, sudah sepatutnya apabila tiap-tiap orang dapat melakukan pelayanan dengan sungguh-sungguh dengan segala kerendahan hati (Kis 20:19a) dan saling melengkapi satu dengan yang lain (I Korintus 12:20). Oleh karena itu dalam menyelesaikan perselisihan di tengah-tengah kepengurusan katagorial perlulah diadakan suatu pelayanan pendamaian sehingga perselisihan dapat teratasi dan pelayanan yang dilakukan oleh pengurus kategorial dapat mempermuliakan Nama Tuhan.

a. Merencanakan Pertemuan Damai Sejahtera
Untuk menyelesaikan konflik yang paling penting adalah akar permasalahan dari konflik tersebut diketahui secara pasti. Tujuan dari pertemuann ini adalah memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk menyampaikan secara terbuka seiap perasaan-perasaan terganggu yang mereka rasakan dalam sebuah kepengurusan kategorial.

b. Berdoa
Doa menjadi salah satu cara ampuh untuk menyelesaikan konflik. Akan sangat tepat apabila sebelum dan saat pertemuan pendamaian, masing-masing pihak yang berkonflik datang kepada Tuhan untuk memohon hikmat dalam menyelesaikan masalah.
Ini dimaksudkan agar pelayanan yang dilakukan tidak memenuhi keinginan daging semata, namun sungguh-sungguh memohon penyertaan Tuhan. Selain itu, doa dimaksudkan untuk menyatakan siapa yang salah dalam perselisihan tersebut sehingga masing-masing pihak dapat mengintrospeksi diri.
Dalam Matius 26:41, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya. “Berjaga-jaga dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: Roh memang penurut, tetapi daging lemah”. Meskipun Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya memiliki keinginan untuk mengikuti Dia, Dia juga tahu kelemahan daging mereka. Inilah sebabnya mengapa Dia mendorong mereka untuk berdoa. Dia tahu bahwa kuasa Roh Kudus yang dapat menguasai kelemahan daging.


c. Bersimpati terhadap Perasaan Orang Lain
Mau terbuka terhadap apa yang sebenarnya dirasa tidak cocok, terlebih mau mendengarkan satu sama lain akan sangat membantu proses pendamaian. Masing-masing pihak harus membuka hatinya untuk mau mendengarkan, tidak hanya sekedar menyampaikan maksud pribadi yang terkesan mementingkan ego sendiri.
Sebagai manusia biasa, mungkin hal ini terasa sangat berat. Namun, saat kita membiarkan Roh Kudus menngendalikan maka semua akan dapat berjalan dengan baik. Dalam Yakobus 1:19b dengan jelas disampaikan agar setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah.
Secara tidak langsung, semakin banyak individu mau mendengarkan, semakin sedikit ia akan berbicara. Semakin lambat berbicara, semakin mudah untuk menahan emosi dan amarah.


d. Jangan Menghakimi!
Seringkali manusia menghakimi sesama atas apa yang terjadi di dalam kehidupan. Dengan mudah kesalahan orang lain akan terlihat, tanpa menyadari kesalahan diri sendiri (Mat 7:3). Padahal, dalam Matius 7:1 tertulis “Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi.” Apabila hal ini masih ada dalam diri masing-masing pihak yag berkonflik, maka Pelayanan Pendamaian yang dilakukan akan menjadi sia-sia.
Arahkan untuk senantiasa mengakui bagian di dalam perselisihan yang terjadi. Akui kesalahan dalam konflik. Pengurus Kategorial harus mau mengakui bagian dalam ketidaksepakatan dengan tulus sebelum mendiskusikan kesalahan dengan partner.

e. Mengusahakan Seia Sekata, Sehati dan Sepikir
Perpecahan hampir pasti terjadi karena ada pihak yang ingin meninggikan diri di atas pihak yang lain atau kedua belah pihak ingin berada di atas pihak yang lain. Ini menandakan bahwa tidak adanya kesatuan hati di antara pengurus kategorial dalam mencapai tujuan organisasi.
Kunci untuk mengatasi hal tersebut adalah mengenakan hikmah Allah untuk mengusahakan seia sekata, sehati dan sepikir. Dalam I Kor 1:10 Rasul Paulus menasihatkan supaya jemaat seia sekata dan jangan ada perpecahan, tetapi sebaliknya supaya erat bersatu dan sehati sepikir.
Hal ini juga mengisyaratkan kepada pengurus kategorial untuk tidak mempertahankan ego masing-masing dan mau merendahkan hati dalam menerima perbedaaan agar dapat menjadi satu kesatuan. Dalam 1 Korintus 12:20 tertulis “Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh”
Ingatlah bahwa Tuhan Yesus telah lebih dahulu merendahkan diri sampai mati di Kayu Salib agar manusia memperoleh anugerah keselamatan. Teladan Tuhan Yesus ini pun wajib ditiru dengan mengusahakan kebaikan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk sesama.

f. Bekerjasama dengan orang lain
Mengarahkan pihak berkonflik untuk mau membuka diri akan permasalahan dan berkerjasama dengan orang lain akan semakin memudahkan terselesaikannya konflik. Dalam Amsal 23:13 tertulis ”Arahkanlah perhatianmu kepada didikan, dan telingamu kepada kata-kata pengetahuan” Adanya pihak ketiga dalam proses Pelayanan Pendamaian akan mendukung Pendamaian dengan baik, terlebih saat masing-masing individu masih membiarkann ego dan amarah menguasai hati dan pikirannya.
Pihak ketiga ini dapat memberikan masukan, menyela di saat pembicaraan dalam pertemuan tidak menemukan jalan keluar. Selain itu, pihak ini dapat mencegah timbulnya permasalahan baru di antara kepengurusan yang mungkin saja terjadi dalam Pelayanan Pendamaian tersebut.

g. Menekankan pada Rekonsiliasi bukan Resolusi
Resolusi dapat diartikan teratas sebagai penyelesaian dari konflik. Namun, rekonsiliasi berarti memulihkan keadaaan seperti semula. Jelas Tuhan menginginkan agar anak-anak-Nya saling mengasihi satu sama lain (Yohanes 13:34). Bahkan melalui Hukum Kasih, manusia harus mengasihi sesamanya seperti mengasihi diri sendiri.
Hal ini mengesankan pada penyelesaian konflik yang tidak setengah-setengah, hanya berdamai dalam ucapan namun sesungguhnya menyimpan amarah dan dendam di dalam hati untuk meredam kekacauan dan menjaga nama baik. Apabila motif-motif tersebut masih menjadi penyelesaian dalam konflik, maka tidak akan ada damai sejahtera dalam hati masing-masing pihak. Lebih lanjut, pelayanan yang dilakukan dalam Organisasi Kategorial tidak akan berjalan dengan baik.

III. KESIMPULAN

Ketika Yesus mengajar murid-murid-Nya tentang penyelesaian konflik, Dia memberi mereka sebuah penyelesain. Dia berkata, "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata, jika ia mendengarkan nasihatmu engkau elah mendapatkannya kembali.” (Matius 18:15).

Tujuan dari pelayanan pendamaian ini adalah untuk mendapatkan saudara kita kembali, dan ini berarti kita harus datang dengan sikap dan keinginan. Tidak dengan dengan berteriak, jari-menunjuk, dan tuduhan. Hasilnya tentu akan jauh lebih menguntungkan, dan mendapatkan hubungan yang benar.
Kiranya setiap konflik yang terjadi dapat terselesaikan dengan baik sehingga pelayanan yang dilakukan benar-benar bermanfaat bagi sesama, terlebih menyenangkan hati Tuhan.



Sumber Acuan:

Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam Terjemahan Baru.Lembaga Alkitab Indonesia, tahun 1999.

Prof. Dr. Made Wahyu Suthedja dan Pdt. Nyoman Yohanes. Mengimani Karya Penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus dengan kuasa Roh Kudus.

I n t e r n e t:

Cara Mengatasi Perselisihan Secara Alkitabiah «AnakMuda!Nongkrong_Tempat Nongkrongnya AnakMuda!html

http://google.co.id/gwt/x?q=Pentingnya+seia+sekata+sehati+sepikir