Friday, December 14, 2012

Tak Seharusnya Melupakan

       Sudah lama aku tidak pulang. Dan entah mengapa, malam ini aku rindu untuk mengunjungi "rumah". Rumah ini bukan rumah biasa, bukan juga sebuah rumah yang luar biasa. Yang membuat rumah ini sedikit terlihat istimewa adalah kunci untuk membuka pintunya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang dapat membuka rumah ini, kecuali aku dan sahabat terbaikku. Masih ingat cerita tentang sahabatku? Sebelumnya, aku sempat menceritakan kisahnya bersama "L", laki-laki yang sangat dikaguminya disini.
         Baik, lupakan tentang kisah masa lalunya. Kali ini, ada hal lain yang akan aku ceritakan, masih tentangnya. Aku bertemu dengannya malam ini di ruang tamu setelah hampir sebulan belakangan ini kami sibuk dengan urusan masing-masing. Aku sibuk dengan tugas-tugas akhir semester di kampusku, dan dia sibuk dengan tulisan-tulisannya. Jelas aku terkejut begitu melihatnya tengah duduk sambil memainkan handphonenya. Biasanya jika ingin berkunjung, kami pasti membuat janji terlebih dahulu untuk pergi bersama-sama. Tapi, malam ini tidak demikian.
        "Kenapa gak bilang mau kesini?" tanyaku protes. Dia, sahabatku itu, berhenti memainkan handphonenya sembari tersenyum. Berbeda denganku, dia sama sekali tidak terkejut.
        "Emang kamu bilang?" Dia balik mengajukan pertanyaan. Sejenak, aku berusaha  mencerna makna di balik kalimatnya itu. Dua sesi mata kuliah pragmatics tadi pagi berhasil membuatku mengambil kesimpulan bahwa ada hal lain yang ingin dia sampaikan.Conversational Implicature, Politeness, Leech's Maxims, Brown and Lavinson muncul dalam pikiranku. Ah, padahal malam ini aku mampir ke rumah untuk terlepas dari kejenuhan akan tugas-tugas kuliah itu. Sahabatku justru mengundang mereka datang lagi.
         "Kapan ya terakhir kita ngumpul bareng?" tanyanya lagi. Aku kembali diam, tapi otakku tetap menyelidiki makna kalimat yang dia ucapkan. Aku duduk di sofa, tepat di hadapannya. Dia masih tetap tidak mengubah eskpresi wajahnya, tetap ada senyum disana, dia bahagia.
         "Lupa ya ngabarin aku?"
          Eh, lupa? Aku kembali mengingat-ingat bagaimana aku bisa sampai di rumah ini. Aku berusaha mengingat "lupa" yang tadi disebutkan oleh sahabatku. Saat aku tengah berusaha keras, tiba-tiba aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang dia ajukan. Sindiran.
         "Maaf," kataku mengakui kesalahan. Dia tetap tersenyum. Sahabatku ini, dia sama sekali tidak marah. Padahal jelas-jelas aku melupakannya. Bahkan, aku sepertinya dia sudah kuanggap hilang dalam kehidupanku sejak final project pertama yang harus kubuat sebulan yang lalu.
         "It's ok! Aku juga minta maaf. Gak ngabarin kamu karena takut ganggu."
         Kini aku bisa tersenyum. Aku kembali belajar sesuatu dari dia, sahabatku (sepertinya aku memang lebih sering belajar darinya). Seperti apa pun kesibukan yang kumiliki, tidak seharusnya aku melupakannya. Bagaimana pun kami adalah sahabat baik, tidak ada alasan untuk tidak saling menyapa ataupun memberi kabar. Untunglah dia tidak salah paham. Kami akhirnya menghabiskan waktu hingga 30 menit untuk menceritakan apa-apa saja yang telah terjadi selama kami tidak pernah bertemu. Meskipun banyak cerita yang masih harus di-pending, setidaknya itu cukup memberikanku pelajaran baru untuk melanjukan hariku esok.

*Dear sahabatku, sampai kapan kamu tidak ingin namamu disebut dalam catatan-catatan kecilku? Malu memiliki seorang sahabat yang tak pandai merangkai kata sepertimu? Tapi tak apalah, selama aku masih diizinkan untuk menulis pengalaman kita dan berbagi sesuatu kepada mereka, aku tidak akan pernah mendesakmu. Thanks for today ^^
        

No comments:

Post a Comment