Thursday, September 26, 2013

Tuhan Berkarya; Kami Pake Jas Almamater

Kau selalu punya cara untuk menolongku
Kau selalu punya jalan kebaikanMu
Kau dahsyat dalam segala perbuatanMu
Dan ku tenang di dalam caraMu
(Tuhan Punya Cara)
Saya ingat, dulu saat masih SMA, saya pernah nangis karena merasa gak akan pernah bisa ngelanjutin pendidikan. Bapak yang adalah buruh serabutan, dan ibu yang sehari-harinya jualan di kantin sekolah gak mungkin bisa membiayai kuliah saya. Waktu itu saya seperti kehilangan semua mimpi. Padahal sejak kecil saya pengen banget jadi guru. Gimana caranya bisa ngewujudin cita-cita kalo gak bisa kuliah? Semaleman saya nangis di dalem kamar, saya bahkan sampe nulis di buku harian kalau saya bakalan berhenti punya mimpi. 

But, fortunately, melalui orang-orang di dekat saya, Tuhan mengingatkan saya kalau semua masih bisa terjadi. Melalui cara-NYA yang ajaib, saya akhirnya bisa menggunakan jas almamater, diterima di perguruan tinggi yang bisa mengantarkan mimpi saya sebagai seorang guru, dengan beasiswa. Hingga saat ini, bapak dan ibu bahkan tidak mengeluarkan uang untuk biaya kuliahs saya. Berkat Tuhan tidak pernah berhenti mengalir.

Kalau saya pulang kampung, ibu masih gak nyangka kalo anaknya bisa jadi mahasiswa, pergi ke kampus dan pake jas almamater. Tapi inilah kenyataannya. Karya Tuhan yang nyata dalam kehidupan kami. Dan bapak, setiap kali dapet pertanyaan dari orang lain, bagaimana sampe bisa nyekolahin anak, beliau bakalan bilang, "Bukan saya yang nyekolahin. Ini karena kebaikan Tuhan."

Dan kebaikan Tuhan rupanya tidak berhenti sampe disana. Adik saya, akhirnya jadi mahasiswi di fakultas kedokteran, jurusan psikologi. Beberapa orang sempat meragukan semua ini. Gimana caranya bisa menanggung biaya pendidikan dua orang anak di perguruan tinggi? Sekali lagi, Tuhan yang punya cara. Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi-NYA. 

Saya coret pernyataan yang dulu sempat saya tulis bahwa saya akan berhenti bermimpi. Saya gak akan pernah berhenti menaruh pengharapan di dalam Tuhan. Saya percaya bahwa IA menyusun skenario yang indah untuk kehidupan ini :)


Friday, September 13, 2013

Semangat Belajar dan Rasa Percaya Diri

Terlalu banyak pelajaran yang saya dapatkan selama KKN, dan ini adalah salah satu diantaranya. Kalau di postingan sebelumnya, saya sempat menceritakan tentang bagaimana belajar berbagi dari Kadek Jenni dan Komag Dinas (sudah baca yang ini?), kali ini saya akan fokus pada semangat belajar yang dimiliki oleh anak bungsu dari keluarga tempat saya menumpangs selama di desa.

He's Komang Dimas. Usianya antara tiga-empat tahunan, belum sekolah. Dia sering banget bawa kotak krayon, sama tas kresek "poleng" yang isinya buku tulis. Dari kotak krayon yang dia pegang, akhirnya saya suka nanya-nanya ke dia tentang warna. Sebelumnya, dia memang belum hafal sama warna, pelan-pelan akhirnya temen-temen KKN yang lain juga mulai  ngajarin dia tentang warna. 

Kotak krayon dibuka. Setiap kali kami nyebutin satu warna, Mang Dimas harus ngambil krayon yang sesuai. Kami bilang "hitam", Mang Dimas bakalan ngambil krayon warna hitam, trus sambil nyengir, dia bakalan ngangkat krayon itu, nunjukin ke kami. Setelah dikasi pernyataan bener atau salah (via tepuk tangan), dia bakalan senyum-senyum sambil naruh lagi krayon ke tempatnya. Dari sekian warna, hitam sama putih adalah yang paling cepet dia tangkep.

Suatu malam, setelah selesai kegiatan di Posko dan kami akhirnya kembali ke tempat nginep, ternyata Mang Dimas sama Kadek Jeni sudah nungguin kita di teras depan kamar. Pas itu, salah satu temen, Bli Gusti, ngambil gitarnya terus ngajakin mereka nyanyi. Memang, karena masih jadi siswi TK baru, Kadek Jeni suka banget nyanyi lagu anak-anak yang baru diajarin di sekolahnya. Pokoknya, setiap ada ksempatan, dia pasti nyanyi dengan sangat ekspresif.

Komang Dimas, "Guruku yang Polos"
Nah trus, tibalah pada lagu "Lihat Kebunku". Jreng, gitar dimaenin sama Bli Gus, kami mulai nyanyi. Dan pas nyampe di baris kedua; Ada yang putih dan ada yang merah, si Komang malah protes, trus dia mengiterupsi "HITAM". Ups, jadilah liriknya berubah; Ada yang putih dan ada yang hitam. Spontan, kami terkejut, trus jadi senyum-senyum sendiri. Rupanya, Mang Dimas suka banget sama warna hitam dan putih. Hehehe,...

Dan kami sadar, pernyataan polos anak itu bukan untuk ditertawakan. Yang kami tahu, dia hebat! Dia punya rasa percaya diri yang tinggi. Apa yang diketahui, meskipun masih sangat terbatas, dia tidak malu untuk mengungkapkannya. Dia juga tidak malu, bahkan ketika secara tidak sengaja kami spontan senyum-senyum ngeliat tingkahnya itu. Dia gak takut salah, dan tetap mau lanjut nyanyi-nyanyi bareng lagi.

Sejak saat itu, dia semakin rajin belajar bawa kotak krayon sama kresek "poleng". Hari lepas hari, dia gak cuma tahu hitam sama putih lagi, tapi juga warna-warna yang lain. Kami sempat kasi dia hadiah buku mewarnai, dan mulai sejak saat itu, dia jadi tambah rajin ngewarnai. Dia sering nungguin kami pulang ke rumah meskipun kadang kegiatan yang padet bikin kami pulang malem. Bisa lihat bagaimana semangat belajar dan rasa percaya diri dari anak ini? Kembali belajar dari anak kecil, dia guru saya yang sangat polos :)



Friday, September 6, 2013

Underestimating Students

Pengen nangis rasanya pas bikin judul untuk postingan ini, T.T
I was one of those students!

Dulu. Dulu yang rasanya masih seperti beberapa jam yang lalu karena kenangan itu bahkan tidak bisa dengan mudah dihapus dari memori saya, meskipun memang kejadiannya sudah sangat lama, beberapa tahun yang lalu."Dulu" saya pernah berada pada posisi itu, being underestimated

Karena faktor tertentu, saya pernah harus berada pada kelas "terakhir". Benar-benar yang terakhir. Kalau seandainya dalam satu lembaga pendidikan ada 26 kelas, dan mereka diurut menjadi kelas A-Z, maka saya berada pada kelas Z. Yang paling akhir itu. Naas? Saya tidak merasa seperti itu. Karena pada saat itu, saya, dan teman-teman di kelas Z tidak ditempatkan berdasarkan rengking.

Suatu ketika, kami diajar oleh seseorang. Beliau ini sangat saya hormati. Saya masih ingat betul suasana pelajaran saat itu. Kalau semakin dipikirkan, saya kadang heran dengan diri saya, kenapa saya bisa mengingat setiap detail kejadian yang terjadi di kelas saat itu? Padahal jelas-jelas itu sudah lama berlalu. 

Entah disengaja atau tidak, tanpa diduga, beliau mulai membanding-bandingkan kelas Z dengan kelas-kelas di atasnya (A-Y). Dari nada bicaranya, saya bisa menangkap bahwa beliau seperti merasa kecewa dengan kelas Z. Beliau mulai menceritakan setiap nilai plus dari kelas A-Y. Kesannya, beliau tidak suka, tidak nyaman, tidak ingin berada di kelas Z. Ini yang ada di pikiran saya saat itu ketika beliau mulai membuka suaranya, dan menganggap kelas Z kalah jauh dari kelas-kelas lainnya. Jujur, secara pribadi, pada saat itu saya merasa sangat kesal. Kenapa harus dibanding-bandingkan? Kalaupun kami memang tidak "sehebat" kelas A-Y, memang kenapa? Apa pelajaran yang beliau sampaikan hanya diperuntukkan bagi kelas-kelas hebat (yang sesuai dengan standarnya?)

Oke, semua yang tertulis di atas adalah apa yang saya pikirkan dari sudut pandang saya pribadi. Kalau dilihat dari sudut pandang beliau, mungkin saja ada alasan yang kuat mengapa beliau berlaku demikian. Mungkin maksud beliau ingin memotivasi kelas Z, ingin membuat kelas Z memiliki kemampuan untuk melompat hingga berada diantara kelas G dan H. Who knows?

Dulu saya sering menghibur diri sendiri, mencoba berpikir positif, "beliau mungkin punya maksud yang baik." Sekali dua kali, saya terus menghibur diri dengan cara seperti itu, tapi, ternyata beliau tidak berhenti membandingkan. Saya tidak tahu, apa saya yang telalu sensitif atau bagaimana, yang jelas setiap kali beliau mulai membicarakan kelas lain, ekspresi wajahnya, maaf, terkesan meremehkan.

Berawal dari sana, saya menjadi minder. Entah kenapa, saya mengiyakan apa yang beliau katakan. Kelas Z, kelas yang dimana saya ada di dalamnya, adalah kelas yang tidak sebaik A-Y. Saya mulai berpikir bahwa saya tidak bisa apa-apa. Saya bodoh, saya tidak pernah bisa membuat beliau puas dengan apa yang saya kerjakan. Dan percaya atau tidak, ini telah banyak mempengaruhi saya. SANGAT BANYAK! Setiap kelas beliau, saya akan duduk di tempat dimana beliau tidak bisa melihat saya, tidak bisa mendekat, tidak bisa menyuruh saya untuk menjawab pertanyaan yang beliau lakukan. SAYA BERSEMBUNYI. Saya takut kalau sampai beliau "menangkap" saya, kemudian saya tidak bisa mengerjakan tugas yang beliau berikan dengan baik, beliau akan mengubah pelajaran menjadi kelas perbandingan. 

Oke, karena saya bersembunyi, saya selalu merasa takut setiap kali mengikuti pelajaran. Saya tidak pernah tenang. Saya takut nama saya tiba-tiba disebut. Takut, tegang, gemetar, resah selalu saya rasakan sepanjang jam pelajaran, hingga akhirnya saya mendapati bahwa saya "tidak pernah sehat" saat mengikuti pelajaran beliau.

Sakit? Iya saya sakit. Saya jadi tidak dapat mengikuti pelajaran seperti biasanya. Saya tidak mau terus-terusan sakit. Bisa dibayangkan betapa menderitanya saya jika setiap minggu harus bertemu dengan beliau dan merasakan "sakit" itu terus-menerus? Akhirnya, saya bertekad untuk sembuh! Saya ingin sembuh!

Maka di pertemuan yang lain, saya memberanikan diri untuk duduk di depan, di depan beliau! Nekat! Menit-menit awal, saya gelisah bukan main. Tapi saya masih mencoba untuk bisa menghibur diri. Mungkin di menit berikutnya, rasa gugup saya akan hilang. Tapi sayangnya, prediksi saya meleset. Saya semakin cemas, semakin takut, apalagi saya beliau mulai melemparkan pertanyaannya. Waktu itu, tidak banyak yang mengacungkan tangan dan memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya yang sangat mudah itu.

Jujur, saya tahu jawabannya. Bahkan, saya merasa bahwa jawaban yang saya siapkan sudah tepat. Untuk itu, saya memberanikan diri, meskipun saya sebenarnya tengah mengalami sport jantung akut saat perlahan mengangkat tangan dan menawarkan diri untuk menjawab. Dan apa Anda tahu apa yang terjadi, saudara-saudara? Susunan kalimat yang begitu rapi, mendadak berantakan. Tidak jelas, tidak terstruktur, bahkan saya sendiri malu mendengarkannnya. :'( 
Dan karenanya, saya berniat untuk kembali bersembunyi. Saya masih gugup, saya masih gemetar, dan saya belum sembuh. Sampai saat ini! Dan anehnya, ini hanya berlaku saat berhadapan dengan beliau. Saya sakit jika melihat beliau, *ini penyakit kroniskah?

Bukannya saya tidak mau untuk sembuh, tapi saya tidak tahu harus bagaimana supaya sembuh!

Sejak saat itu, saya tahu bagaimana rasanya, di-underestimated. Meskipun banyak orang bilang, menjadikannya sebagai batu lompatan supaya lebih jengah, tapi apa yang sudah terlanjur ditanam dan berakar kuat itu, bagi sebagian orang-termasuk saya, sangat sulit untuk dimusnahkan. Dan kini, saat harus berhadapan dengan para siswa karena mengikuti PPL, saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mencetak lebih banyak siswa yang bersembunyi. Setiap orang punya kemampuan, pemahanan, dan daya tangkap yang berbeda, tidak bisa selalu dituntut untuk menjadi sama, benar begitu?

"Membanding-bandingkan satu orang dengan yang lainnya, tepat di hadapan orang yang bersangkutan sanggup menimbulkan luka batin yang terlalu dalam"