Friday, September 6, 2013

Underestimating Students

Pengen nangis rasanya pas bikin judul untuk postingan ini, T.T
I was one of those students!

Dulu. Dulu yang rasanya masih seperti beberapa jam yang lalu karena kenangan itu bahkan tidak bisa dengan mudah dihapus dari memori saya, meskipun memang kejadiannya sudah sangat lama, beberapa tahun yang lalu."Dulu" saya pernah berada pada posisi itu, being underestimated

Karena faktor tertentu, saya pernah harus berada pada kelas "terakhir". Benar-benar yang terakhir. Kalau seandainya dalam satu lembaga pendidikan ada 26 kelas, dan mereka diurut menjadi kelas A-Z, maka saya berada pada kelas Z. Yang paling akhir itu. Naas? Saya tidak merasa seperti itu. Karena pada saat itu, saya, dan teman-teman di kelas Z tidak ditempatkan berdasarkan rengking.

Suatu ketika, kami diajar oleh seseorang. Beliau ini sangat saya hormati. Saya masih ingat betul suasana pelajaran saat itu. Kalau semakin dipikirkan, saya kadang heran dengan diri saya, kenapa saya bisa mengingat setiap detail kejadian yang terjadi di kelas saat itu? Padahal jelas-jelas itu sudah lama berlalu. 

Entah disengaja atau tidak, tanpa diduga, beliau mulai membanding-bandingkan kelas Z dengan kelas-kelas di atasnya (A-Y). Dari nada bicaranya, saya bisa menangkap bahwa beliau seperti merasa kecewa dengan kelas Z. Beliau mulai menceritakan setiap nilai plus dari kelas A-Y. Kesannya, beliau tidak suka, tidak nyaman, tidak ingin berada di kelas Z. Ini yang ada di pikiran saya saat itu ketika beliau mulai membuka suaranya, dan menganggap kelas Z kalah jauh dari kelas-kelas lainnya. Jujur, secara pribadi, pada saat itu saya merasa sangat kesal. Kenapa harus dibanding-bandingkan? Kalaupun kami memang tidak "sehebat" kelas A-Y, memang kenapa? Apa pelajaran yang beliau sampaikan hanya diperuntukkan bagi kelas-kelas hebat (yang sesuai dengan standarnya?)

Oke, semua yang tertulis di atas adalah apa yang saya pikirkan dari sudut pandang saya pribadi. Kalau dilihat dari sudut pandang beliau, mungkin saja ada alasan yang kuat mengapa beliau berlaku demikian. Mungkin maksud beliau ingin memotivasi kelas Z, ingin membuat kelas Z memiliki kemampuan untuk melompat hingga berada diantara kelas G dan H. Who knows?

Dulu saya sering menghibur diri sendiri, mencoba berpikir positif, "beliau mungkin punya maksud yang baik." Sekali dua kali, saya terus menghibur diri dengan cara seperti itu, tapi, ternyata beliau tidak berhenti membandingkan. Saya tidak tahu, apa saya yang telalu sensitif atau bagaimana, yang jelas setiap kali beliau mulai membicarakan kelas lain, ekspresi wajahnya, maaf, terkesan meremehkan.

Berawal dari sana, saya menjadi minder. Entah kenapa, saya mengiyakan apa yang beliau katakan. Kelas Z, kelas yang dimana saya ada di dalamnya, adalah kelas yang tidak sebaik A-Y. Saya mulai berpikir bahwa saya tidak bisa apa-apa. Saya bodoh, saya tidak pernah bisa membuat beliau puas dengan apa yang saya kerjakan. Dan percaya atau tidak, ini telah banyak mempengaruhi saya. SANGAT BANYAK! Setiap kelas beliau, saya akan duduk di tempat dimana beliau tidak bisa melihat saya, tidak bisa mendekat, tidak bisa menyuruh saya untuk menjawab pertanyaan yang beliau lakukan. SAYA BERSEMBUNYI. Saya takut kalau sampai beliau "menangkap" saya, kemudian saya tidak bisa mengerjakan tugas yang beliau berikan dengan baik, beliau akan mengubah pelajaran menjadi kelas perbandingan. 

Oke, karena saya bersembunyi, saya selalu merasa takut setiap kali mengikuti pelajaran. Saya tidak pernah tenang. Saya takut nama saya tiba-tiba disebut. Takut, tegang, gemetar, resah selalu saya rasakan sepanjang jam pelajaran, hingga akhirnya saya mendapati bahwa saya "tidak pernah sehat" saat mengikuti pelajaran beliau.

Sakit? Iya saya sakit. Saya jadi tidak dapat mengikuti pelajaran seperti biasanya. Saya tidak mau terus-terusan sakit. Bisa dibayangkan betapa menderitanya saya jika setiap minggu harus bertemu dengan beliau dan merasakan "sakit" itu terus-menerus? Akhirnya, saya bertekad untuk sembuh! Saya ingin sembuh!

Maka di pertemuan yang lain, saya memberanikan diri untuk duduk di depan, di depan beliau! Nekat! Menit-menit awal, saya gelisah bukan main. Tapi saya masih mencoba untuk bisa menghibur diri. Mungkin di menit berikutnya, rasa gugup saya akan hilang. Tapi sayangnya, prediksi saya meleset. Saya semakin cemas, semakin takut, apalagi saya beliau mulai melemparkan pertanyaannya. Waktu itu, tidak banyak yang mengacungkan tangan dan memberanikan diri untuk menjawab pertanyaannya yang sangat mudah itu.

Jujur, saya tahu jawabannya. Bahkan, saya merasa bahwa jawaban yang saya siapkan sudah tepat. Untuk itu, saya memberanikan diri, meskipun saya sebenarnya tengah mengalami sport jantung akut saat perlahan mengangkat tangan dan menawarkan diri untuk menjawab. Dan apa Anda tahu apa yang terjadi, saudara-saudara? Susunan kalimat yang begitu rapi, mendadak berantakan. Tidak jelas, tidak terstruktur, bahkan saya sendiri malu mendengarkannnya. :'( 
Dan karenanya, saya berniat untuk kembali bersembunyi. Saya masih gugup, saya masih gemetar, dan saya belum sembuh. Sampai saat ini! Dan anehnya, ini hanya berlaku saat berhadapan dengan beliau. Saya sakit jika melihat beliau, *ini penyakit kroniskah?

Bukannya saya tidak mau untuk sembuh, tapi saya tidak tahu harus bagaimana supaya sembuh!

Sejak saat itu, saya tahu bagaimana rasanya, di-underestimated. Meskipun banyak orang bilang, menjadikannya sebagai batu lompatan supaya lebih jengah, tapi apa yang sudah terlanjur ditanam dan berakar kuat itu, bagi sebagian orang-termasuk saya, sangat sulit untuk dimusnahkan. Dan kini, saat harus berhadapan dengan para siswa karena mengikuti PPL, saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mencetak lebih banyak siswa yang bersembunyi. Setiap orang punya kemampuan, pemahanan, dan daya tangkap yang berbeda, tidak bisa selalu dituntut untuk menjadi sama, benar begitu?

"Membanding-bandingkan satu orang dengan yang lainnya, tepat di hadapan orang yang bersangkutan sanggup menimbulkan luka batin yang terlalu dalam" 

  


No comments:

Post a Comment