Saturday, December 22, 2012

"Mengapa" dan "Mengapa Tidak"

Jurnalistik mengenal 5W+1H. Setiap mereka yang mendapat materi Bahasa Indonesia, tentu sudah mengenal istilah ini. Aku belajar 5W+1H sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, bertahun-tahun yang lalu. Lima ditambah satu, hasilnya enam. Secara sederhana aku awalnya berpikir bahwa hanya akan ada enam pertanyaan yang akan digunakan; Who, What, Where, When, Why dan How. Bukankah itu sangat mudah? Saat melakukan praktik wawancara, yang perlu kulakukan hanya menerjemahkan kata-kata itu ke dalam Bahasa Indonesia, kemudian membuat meletakkan mereka di awal pertanyaanku. Jika aku buat listnya, maka akan menjadi seperti ini:
Siapa............?
Apa..............?
Dimana........?
Kapan..........?
Mengapa......?
Bagaimana....?

Berbekal enam pertanyaan yang sudah tersusun sedemikian rupa dan sedemikian hingga, berita yang aku buat akan memenuhi kriteria sebagai berita yang baik. That's what I thought... But, I was wrong!
Saat berhadapan dengan narasumber keenam pertanyaan itu tidak akan cukup!Ada banyak informasi yang  masih bisa digali. Siapa bisa menjadi 5 pertayaan, demikian pula dengan kalimat tanya yang lain.

That is the reality! Aku sadar bahwa ada banyak pertanyaan yang bisa bermunculan selama kita masih hidup di tengah dunia ini, selama kita masih disebut manusia. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, saat ini, aku ingin berkisah tentang "mengapa" dan "mengapa tidak".

Mungkin saat membacanya, ada diantara pembaca yang bertanya: Mengapa harus "mengapa" dan "mengapa tidak"? Mengapa tidak "apa" dan "bagaimana". Jika memang pertanyaan itu yang muncul, maka itulah jawabannya. Bisa mengerti apa yang kumaksud?

Entah karena mind-setting manusia telah diatur seperti itu, atau karena ada faktor-faktor lain (mungkin ada yang bisa memberikan tanggapannya tentang hal ini?) saat ada sesuatu yang kita anggap tidak sesuai dengan keinginan, 2 pertanyaan itu otomatis akan muncul.

"Mengapa" menggambarkan bahwa sebenarnya kita adalah pribadi yang kristis, juga pribadi yang selalu ingin tahu, terutama hal-hal baru, dan apa yang belum kita mengerti. Tidak saja dengan mudahnya setuju terhadap sesuatu. It's good, isn't it? Ini adalah salah satu tameng yang bisa membuat kita bertahan pada apa yang kita yakini, dan tidak jatuh pada apa yang kita anggap tidak sesuai. Kurangnya adalah pertanyaan terkesan sebagai penanda bahwa sebenarnya kita sedang "menentang". Iya 'kan?

Sedangkan, "mengapa tidak" sejauh ini, "mengapa tidak" (sejauh yang aku mengerti, jika ada  yang ingin menambahkan, silakan...) memiliki dua arti yang sangat signifikan. Pertama, ini mengindikasikan  kreativitas yang kita miliki karena "mengapa tidak" biasanya dibarengin dengan statement, usulan, pendapat atau kata-kata yang ada dalam satu kingdom dengannya (jadi masuk istilah di IPA, see: klasifikasi makhluk hidup -____-"). Di satu sisi, ini membuat kita terkesan seperti "yang paling sok tau". Bener gak?


Sebenarnya apa yang aku tulis diatas hanya pemahbah basa-basi. Bukan itu yang ingin aku sampaikan. Mengapa harus menggunakan introduction yang begitu panjang? Mengapa tidak langsung pada pointnya? Aku juga tidak tahu mengapa. Aku hanya ingin menulis, dan apa yang muncul, aku tulis semua. Maaf bagi pembaca yang merasa keberatan dengan semua ini. Tapi serius, ada hal penting yang ingin aku sampaikan terkait penggunaan dua kalimat itu dalam konteks kehidupan.

Pernahkan lelah menjalani setiap rutinitas dalam kehidupan? Pernahkan merasa BOSAN, JENUH, TERTEKAN dengan situasi yang kita hadapi? Pernahkah merasa bahwa apa yang kita alami tidak adil bagi kita? Adakah kita pernah menanyakan ini:
- Mengapa saya lahir di keluarga ini? Mengapa tidak di keluarga A, B, C, D, E atau di keluarganya?
- Mengapa saya harus mengalami ini? Mengapa tidak membiarkan saya bersenang-senang?
- Mengapa saya harus bersamamu? Mengapa tidak bersama dengan orang lain?
- Mengapa saya harus hidup sebagai saya? Mengapa saya tidak hidup sebagai kamu?
- Mengapa .........................................? Mengapa tidak........................................? (isi saja dengan beribu kemungkinan pertanyaan yang muncul).

Bisa menangkap apa yang ingin kusampaikan? Kita terlalu sering mengeluh, kemudian menuntut Tuhan untuk memberikan apa yang kita anggap baik, menurut pandangan kita, bukan menurut apa yang Tuhan pandang baik. Siapa yang menciptakan manusia? Jadi siapa yang sebenarnya lebih mengerti apa  yang kita perlukan, apa yang baik dan tidak baik untuk kita? Adakah kedua pertanyaan itu mewakili rasa syukur atau sebaliknya? Aku tidak akan menjawab pertanyaan itu disini, ini tergantung pada diri kita masing-masing.

Sampai disini saja. Hope u can get the point of those paragraphs! Hopefully! May God be with us! (DRA, penghujung 2012)

No comments:

Post a Comment